dc.contributor.advisor | Thaib, Hasballah | |
dc.contributor.advisor | Suhaidi | |
dc.contributor.advisor | Abdullah, Zulkarnaini | |
dc.contributor.author | Muzakkir | |
dc.date.accessioned | 2018-03-21T03:07:05Z | |
dc.date.available | 2018-03-21T03:07:05Z | |
dc.date.issued | 2017 | |
dc.identifier.uri | http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/1243 | |
dc.description.abstract | Basically institutionalization of Islamic law in the form of legislation is a requirement of true values and fikrah (thinking) Muslims in the fields of law, awareness arbitrate on Islamic law sociologically and culturally never die and always lived in a political system anywhere, whether Dutch colonial times, Japan and the independence and future development today. This shows the moral values of Islam in addition to local knowledge and customary law has its roots firmly to appear offering legal concepts with values more universal, ie valid and accepted by anyone and anywhere, because Islam is a value system that is intended for achieving welfare of the entire universe (rahmatan li al 'alamin).
Qanun Aceh can not be separated from the contiguity and the interaction between the "normativity and historicity" of the Indonesian nation. Therefore the assumption that the "Qanun is the originality of Islamic law" questionable validity. Local legal system (lex specialist), the legality must not conflict with the national legal systems (lex generalis). The formation of local laws (Qanun) of Aceh, influenced and or considered legal if it does not conflict with national laws, as mentioned in the preamble formation Qanun. If so, is it possible kaffah imposed Islamic law in Aceh, which is part of the Territory and Sovereignty of the Republic of Indonesia, which does not adhere to Islamic law, particularly the law Jinayah
As for the problems in this study relates to the status of a bylaw on the implementation of the Law on Aceh Jinayah national law, the legal charge Jinayah contained in Jinayah Qanun in Aceh in the Implementation of Islamic Sharia and why law enforcement jinayah in Aceh face many obstacles.
This study is normative, ie in the sense that the principles of normative legal asa used as a starting point an analysis of the object of the problems studied. An analysis of this kind then dikaitkanlah empirical facts acquisition field, especially with the implementation of positive law (both written and unwritten) exists to support discussion conducted. Methods used in the discussion of this dissertation research, an "inductive" and "deductive method" .Sedangkan Data collection techniques used in the form of library research (library resarch). Through field research (Field Research).
The results of that study; First, the law Theoretically general law will be defeated by the special legislation (lex specialist dirogat lex generalis)". Therefore, the position of a bylaw on the implementation of the Law on Acehmemiliki Jinayah formal legal position so that it can be recognized as a legal product and a source of law jinayat, it constituted with four (4) main reasons, namely: 1). NKRI government system according to the constitution recognizes and respects the units of local government that is special or that are regulated by the Act; 2). Based on the constitutional journey of Indonesia, Aceh is a unit of regional government that are specific or special related to one of the distinctive character of the historical struggle of the people of Aceh who have endurance and perseverance; 3) .Ketahanan and perseverance are sourced from a view of life which is based on Islamic Shariah which bore a strong Islamic culture so that Aceh became the capital region for the struggle to seize and defend the independence of the Republic of Indonesia; 4). The administration and development in Aceh are not able to fully realize the people's welfare, justice and the promotion, fulfillment and protection of human rights so that the Government of Aceh should be developed and implemented based on the principles of good governance.
Second, Payload law jinayat Qanun implementation of Islamic law in Aceh, as set out in Qanun No. 11 of 2002 on the implementation of Islamic Sharia Aqeedah, worship and symbols of Islam, and Payload Qanun No. 6 of 2014 Khamar, Maisir (Gambling), Seclusion (sordid) , Sexual Peleceha, Zina, Rape, Liwath, Qadzal, and Musakhahat.
Jinayah Qanun Aceh as the implementing regulations the implementation of special autonomy in accordance with the authority granted to the Province of Aceh special autonomy. Therefore, in the implementation of the special autonomy law iAceh Government no longer need to wait for government regulation as implementation guidelines for the implementation of the Government of Aceh. Qanun mentioned level with local regulations as the implementing regulations of the legislation made the local level to the regional administration
Third, the implementation of the law in Aceh jinayah recognized face many obstacles, while these constraints, among others; 1). Academic constraints stating that how it is possible in one country, there are two (2) different laws, the statement appears that the application of religious law in the area of legislation contrary to the constitution that is not based on religious law. The Constitution guarantees freedom of religion. Therefore, the application of Shari'a with legal sanctions against unauthorized state, and even local laws that should be repealed because it is contrary to human rights. 2). Weakness in the substance of the law, so enforcement of Islamic Shari'ah is not biased in tegagkan thoroughly. 3). Political influence in Indonesia impede enforcement of Islam in Aceh, this is because some of the responses that the enforcement of Islamic Shari'ah in Aceh Inhibit the growth of the economy, with the Qanun Jinayat foreign investors thinking long for investments in Aceh. 4). Enforcement qanuns jinayah have problems because of the perception that was built between the government, the public and law enforcement officers walking on different paths. 5). Potential barriers to enforcement of Qanun jinayah can also be caused by low morale and integrity of law enforcement. Ideally, the stronger the moral and the integrity of law enforcement, especially in preventing and in making decisions on violation qanuns jinayah, the stronger enforcement jinayah Qanun in Aceh. 6). Pressure from both sides ie Islamic fundamentalist camps and camps of politicians, each has a view of the pros and cons, so the application of Qanun jinayat memorable tug. 7). An indication of the lack of budget for the implementation of Islamic Shariah in Aceh that resulted in weakening the enforcement of Qanun Jinayat. | en_US |
dc.description.abstract | Pada dasarnya pelembagaan hukum Islam dalam bentuk peraturan perundang-undangan merupakan tuntutan dari kenyataan nilai-nilai dan fikrah (pemikiran) umat Islam dalam bidang hukum, kesadaran berhukum pada syariat Islam secara sosiologis dan kultural tidak pernah mati dan selalu hidup dalam sistem politik manapun, baik masa kolonialisme Belanda, Jepang maupun masa kemerdekaan dan masa pembangunan dewasa ini. Hal ini menunjukkan nilai-nilai ajaran Islam di samping kearifan lokal dan hukum adat memiliki akar kuat untuk tampil menawarkan konsep hukum dengan nilai-nilai yang lebih universal, yakni berlaku dan diterima oleh siapa saja serta di mana saja, karena Islam merupakan sistem nilai yang ditujukan bagi tercapainya kesejahteraan seluruh alam (rahmatan li al ‘alamin).
Qanun Aceh tidak terlepas dari hasil persentuhan dan interaksi antara “normativitas dan historisitas” bangsa Indonesia. Karenanya anggapan bahwa “Qanun merupakan orisinalitas hukum Islam” perlu dipertanyakan keabsahannya. Sistem hukum lokal (lex spesialis), legalitasnya tidak boleh bertentangan dengan sistem hukum nasional (lex generalis). Pembentukan hukum lokal (qanun) Aceh, dipengaruhi dan atau dianggap legal jika tidak bertentangan dengan hukum nasional, sebagaimana disebutkan dalam konsideran pembentukan Qanun. Jika demikian, apakah mungkin hukum Islam secara kaffah diberlakukan di Aceh, yang merupakan bagian dari Wilayah dan Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang tidak menganut hukum Islam, khususnya hukum Jinayah
Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini berkaitan dengan kedudukan qanun-qanun tentang pelaksanaan Hukum Jinayah di Aceh dalam hukum nasional, muatan hukum Jinayah yang terdapat dalam qanun Jinayah di Aceh dalam Pelaksanaan Syariat Islam dan mengapa pelaksanaan hukum jinayah di Aceh menghadapi banyak kendala.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, yaitu dalam artian bahwa asas-asa hukum normatif digunakan sebagai titik tolak analisis terhadap objek permasalahan yang diteliti. Dari analisa yang semacam ini kemudian dikaitkanlah fakta-fakta empiris hasil perolehan lapangan khususnya dengan implementasi dari hukum positif (baik yang tertulis maupun tidak tertulis) yang ada untuk mendukung pembahasan yang dilakukan. Metode pembahasan yang digunakan dalam penelitian disertasi ini, merupakan “metode induktif” dan “metode deduktif”.Sedangkan Teknik pengumpulan data yang digunakan berupa penelitian kepustakaan (library resarch). Melalui penelitian lapangan (Field Research).
Hasil penelitian yaitu; Pertama,Secara teori hukum undang-undang umum akan dikalahkan dengan Undang-undang khusus (lex spesialis dirogat lex generalis)”. Oleh karena itu, kedudukan qanun-qanun tentang pelaksanaan Hukum Jinayah di Acehmemiliki posisi legal formal sehingga dapat diakui keberadaannya sebagai produk hukum dan sumber hukum jinayat, hal ini didasari dengan empat (4) alasan utama yaitu;1). Sistem pemerintahan NKRI menurut UUD mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang; 2). Berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi; 3).Ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syari’at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan NKRI; 4). Penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Aceh belum dapat sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan rakyat, keadilan serta pemajuan, pemenuhan, dan pelindungan hak asasi manusia sehingga Pemerintahan Aceh perlu dikembangkan dan dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik;
Kedua, Muatan hukum jinayat dalam Qanun pelaksanaan syariat Islam di Aceh, sebagaimana ditetapkan dalam qanun nomor 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan Syariat Islam Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam, dan Muatan Qanun Nomor 6 Tahun 2014 Khamar,Maisir (Perjudian), Khalwat (Mesum). Peleceha Seksual, Zina, Pemerkosaan, Liwath, Qadzal, dan Musakhahat.
Qanun Jinayah Aceh sebagai peraturan pelaksanaan penyelenggaraan pelaksanaan otonomi khusus yang sesuai dengan kewenangan yang diberikan kepada Provinsi Aceh sebagai daerah otonomi khusus. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaan undang-undang otonomi khusus Pemerintahan iAceh tidak perlu lagi menunggu peraturan pemerintah sebagai pedoman penyelenggaraan pelaksanaan Pemerintahan Aceh. Qanun disebutkan setingkat dengan peraturan daerah sebagai peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan tingkat daerah dibuat untuk penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Ketiga, pelaksanaan hukum jinayah di Aceh diakui banyak menghadapi kendala, adapun kendala tersebut antara lain; 1). Kendala akademis yang menyatakan bahwa bagaimana mungkin di dalam satu Negara terdapat dua (2) hukum yang berbeda, statement yang muncul bahwa penerapan hukum agama dalam perundangan daerah bertentangan dengan konstitusi yang tidak berdasarkan pada hukum agama. Konstitusi menjamin kebebasan beragama. Sebab itu penerapan Syari’at Islam dengan sanksi hukum negara tidak syah, bahkan peraturan daerah itu harus dicabut karena bertentangan dengan HAM. 2). Kelemahan dalam substansi hukum, sehingga penegakan syari’at islam belum bias di tegagkan secara menyeluruh. 3). Pengaruh politik di Indonesia menyebabkan terhambatnya penegakan islam di Aceh, hal ini dikarenakan beberapa tanggapan bahwa penegakan syari’at islam di Aceh Menghambat pertumbuhan ekonomi, dengan adanya Qanun Jinayat para investor asing berfikir panjang untuk investasi di Aceh. 4). Penegakan qanun jinayah mengalami hambatan karena persepsi yang dibangun antara pemerintah, masyarakat dan penegak hukum berjalan pada jalur yang berbeda. 5). Potensi hambatan penegakan qanun jinayah juga dapat diakibatkan oleh rendahnya moral dan integritas para penegak hukum. Idealnya, semakin kuat moral dan integritas para penegak hukum, terutama dalam mencegah dan dalam pengambilan keputusan terhadap pelanggaran qanun jinayah, maka semakin kuat penegakan qanun jinayah di Aceh. 6). Tekanan dari dua kubu yakni kubu islam fundamentalis dan kubu politisi, masing-masing memiliki pandangan pro dan kontra,sehingga penerapan qanun jinayat berkesan tarik ulur. 7). Indikasi dari minimnya anggaran biaya bagi pelaksanaan syari’at Islam di Aceh yang berujung pada pelemahan penegakan Qanun Jinayat. | en_US |
dc.language.iso | id | en_US |
dc.subject | Law Jinayah | en_US |
dc.subject | Qanun Aceh | en_US |
dc.subject | Adoption | en_US |
dc.subject | Applications | en_US |
dc.title | Adopsi Dan Aplikasi Hukum Jinayah Melalui Qanun Di Aceh (Studi Terhadap Qanun Nomor 6 Tahun 2014) | en_US |
dc.type | Thesis | en_US |
dc.identifier.nim | NIM108101011 | en_US |
dc.identifier.submitter | Franz | |
dc.description.type | Disertasi Doktor | en_US |