Akibat Penghentian Bilateral Investment Treaties (BIT) Indonesia – Belanda yang Dilakukan secara Sepihak oleh Indonesia

Abstract

The Indonesia-Netherlands BIT has been terminated since July 1st, 2015. The intention to terminate has been submitted by Indonesia to the Netherlands on March, 2014. The validity of the termination was questioned by investors, businessmen, and international lawyers, given the ground of the termination undertaken by Indonesian Government was to protect Indonesia’s national interests. The research, which is a descriptive-analytical normative legal research, tends to examine the basic regulations of BIT set under Indonesian and international legal system as well as analyzing the termination undertaken by Indonesia unilaterally from both perspective of Indonesian national law and international law. The research is also describing the consequences arising from the termination. Under Indonesian national legal system, BIT is set forth in Art. 11 of 1945 Indonesian Constitution, Art. 5 of Law No. 37/1999, Art. 82 to 87 of Law No. 7/2014, Law No. 24/2000, and Law No. 25/2007. Under international legal system, BIT is set forth in Article 38 (1) of the ICJ Statute, the 1969 VCLT and the investment provisions of GATT, GATS, and TRIMs. Although The BIT terminated unilaterally by Indonesia in order to protect its national interests might be legally valid according to the provisions of Art.18 (h) of the Law No. 24/2000 and Art. 85 of the Law No. 7/2014, it is, however, not justified by Art. 27 of the 1969 VCLT. In addition, under the terms of the principle of pacta sunt servanda as the basic principle in the implementation and obrservance of treaties, the signatory states of BIT ought to be bound to exercise the rights and obligations that have been agreed in the agreement. Accordingly, the termination undertaken by Indonesia is legitimate pursuant to the provisions of Art. 42 (2) of the 1969 VCLT and the termination provisions set under the BIT. The absence of the Netherlands’ objection regarding the termination also indicates that the BIT has been terminated with the consent of the state. Furthemore, the provision of survival clause will apply as the consequence of the termination. According to the clause, Dutch investors that has been operating in Indonesia prior to the date of termination are still going to be protected by the terminated BIT for the next 15 (fifteen) years. In accordance with upcoming Dutch investors, the protection could be obtained from another new BIT or through MIT/FTA in which Indonesia and Netherlands are the parties.

Bilateral Investment Treaty (BIT) Indonesia – Belanda telah dihentikan sejak 1 Juli 2015. Keinginan penghentian ini telah disampaikan oleh Pemerintah Indonesia kepada Kedutaan Belanda pada Maret 2014. Hal ini menyisakan tanda tanya di kalangan pebisnis, investor dan international lawyers mengenai keabsahan dari penghentian tersebut mengingat alasan penghentian adalah demi melindungi kepentingan nasional Indonesia. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif analitis, penelitian ini akan meneliti mengenai dasar pengaturan BIT dalam sistem hukum nasional Indonesia dan hukum internasional dan menganalisa penghentian BIT Indonesia – Belanda yang dilakukan secara sepihak oleh Indonesia dilihat dari perspektif hukum nasional Indonesia dan hukum nasional serta memaparkan apa saja akibat yang muncul dari penghentian tersebut. Dasar pengaturan BIT dalam sistem hukum nasional Indonesia termuat dalam Pasal 11 UUD 1945, Pasal 5 UU No. 37/1999, Pasal 82-87 UU No. 7/2014, UU No. 24/2000 dan UU No. 25/2007. Dalam sistem hukum Internasional, dasar pengaturan BIT termuat dalam Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional, Konvensi Wina 1969 dan ketentuan-ketentuan dalam GATT, GATS, dan TRIMs. Penghentian BIT Indonesia – Belanda yang dilakukan secara sepihak oleh Indonesia demi melindungi kepentingan nasional, walaupun legal berdasarkan ketentuan Pasal 18 (h) UU No. 24 Tahun 2000 dan Pasal 85 UU No. 7 Tahun 2014, tidak dibenarkan menurut ketentuan Pasal 27 Konvensi Wina 1969. Selain itu, berdasarkan ketentuan prinsip pacta sunt servanda, BIT tersebut mengikat negara penandatangan untuk melaksanakan ketentuan yang ada di dalamnya dengan itikad yang baik, termasuk dalam penghentiannya. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 42 (2) Konvensi Wina 1969 dan ketentuan penghentian perjanjian dalam BIT tersebut, maka penghentian yang dilakukan oleh Indonesia sudah sah sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam perjanjian. Tidak adanya pernyataan keberatan dari Belanda juga menunjukkan bahwa Belanda menyetujui penghentian ini. Sebagai akibat dari penghentian, ketentuan survival clause akan berlaku. Investor Belanda yang sudah beroperasi di Indonesia sebelum tanggal penghentian masih dilindungi oleh BIT yang sudah dihentikan. Bagi investor Belanda yang masuk setelah penghentian, maka perlindungan dapat diperoleh dari pembuatan BIT yang baru atau melalui MIT atau FTA dimana Indonesia dan Belanda menjadi pihaknya.