Tradisi Lisan Pasambahan Manjapuik Marapulai dalam Konteks Upacara Adat Perkawinan Minangkabau di Sungai Garingging, Pariaman
View/ Open
Date
2019Author
Tanjung, Srimaharani
Advisor(s)
Sinar, T. Silvana
Nasution, Ikhwanuddin
Takari, Muhammad
Metadata
Show full item recordAbstract
The research pertains to the tradition of manjapuik marapulai in Minangkabau wedding ceremonial. The purpose of this research is to describe the performance, local wisdom and revitalization of manjapuik marapulai tradition. Theories which are used in this research are: Critical discourse analysis by Van Dijk (1987), Semiotics by Charles Sanders Pierce (1982), Fungsionalism by Malinowski (1987) and Performance by Ruth Finnegan (1992). This research is qualitative descriptive. To gather some information needed, the researcher collects the field data which is found in Kecamatan Sungai Geringging, Kabupaten Pariaman by using observation technique and in depth interview to sevent (7) informants. The result of the research shows that the oral tradition of manjapuik marapulai performance is a kind of prosession to pick up the groom where generally held after the marriage contract (akad nikah) has done. This performance takes place by doing sambah (speech) that performed by the spokesman from each family. The pasambahan can not be separated from three elements important point, such as: text, co-text, and context. The meaning of manjapuik marapulai tradition is an awards given by the bride‟s family to the groom‟s family. Meanwhile, the function of manjapuik marapulai tradition are (1) as a way to increase the dignity of urang sumando as a comer in their wife‟s family, (2) as a way to hearten the groom‟s family left behind. (3) as a way to unite both family, (4) as an evidence of society recognition of social status, and the last (5) to bride‟s family is as an evidence social prestige. The value in this tradition are: ethic, esthetic, and belief, while the norms are: religion, courtesy, decency, and customary law. In order to revitalize of manjapuik marapulai tradition, it can be done by 3 stages, they are: activating, managing, and in heritance. Activating can be done by socialize the Minangkabau culture through education, to re-function the process of tradition, and to create the youth organization. Managing can be done by setting up the training schedule, promoting and to invite the youth in series of custom event. Heritance can be done by using radio broadcasting, television show: traditional event, framing the “love culture” ads, and inventory. Penelitian ini berkaitan dengan tradisi manjapuik marapulai pada adat perkawinan Minangkabau. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bentuk performansi, kearifan lokal, serta model revitalisasi dari tradisi manjapuik marapulai. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis Wacana Kritis yang dikemukan oleh Van Dijk (1987),Semiotik oleh Charles Sanders Pierce 1982, fungsi oleh Malinowski (1987) dan performansi yang dikemukan oleh Ruth Finnegan (1992). Metode penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Untuk mendapatkan informasi yang diperlukan, peneliti mengumpulkan data lapangan yang berada di Kecamatan Sungai Geringing, Kabupaten Pariaman dengan menggunakan teknik observasi non parsipatori dan wawancara mendalam kepada 7 (tujuh) orang informan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa performansi tradisi lisan manjapuik marapulai merupakan prosesi menjemput pengantin laki-laki yang umumnya dilaksanakan setelah akad nikah yang dilakukan oleh utusan keluarga pengantin perempuan yang datang secara adat. Kegiatan ini berlangsung dengan melakukan sambah yang dilakukan oleh utusan atau juru bicara dari kedua belah pihak keluarga yang tidak terlepas dari unsur teks, ko-teks dan konteks. Makna tradisi manjapuik marapulai ini adalah penghargaan yang diberikan oleh keluarga anak daro kepada keluarga marapulai. Fungsinya adalah (1) untuk menaikkan harkat dan martabat urang sumando sebagai, (2) untuk menghibur dalam rangka membesarkan hati keluarga marapulai yang ditinggalkan, (3) untuk mempersatukan kedua keluarga, (4) sebagai bukti dari pengakuan masyarakat terhadap status sosial, dan (5) bagi keluarga anak daro adalah sebagai pembuktian gengsi sosial. Nilai yang terdapat dalam tradisi ini adalah: nilai etika, estetika dan kepercayaan, dan norma yang terdapat adalah: agama, kesopanan, kesusilaan dan hukum adat. Maksim kesantunan yang terdapat pada tradisi ini adalah: kebijaksanaan, penerimaan, kemurahan, kerendahan hati, kecocokan dan kesimpatian. Dalam rangka untuk merevitalisasi tradisi pasambahan manjapuik marapulai ini dapat dilakukan melalui tiga (3) tahapan, yakni: mengaktifkan, mengelola dan mewariskan. Mengaktifkan dilakukan dengan cara mensosialisasikan budaya Minangkabau melalui pendidikan, memfungsikan kembali proses tradisi, dan membentuk organisasi kepemudaan. Mengelola dapat dilakukan dengan cara mengelola waktu pelatihan, mempromosikan, dan mengikutsertakan pemuda dalam rangkaian acara. Mewariskan dapat dilakukan melalui penyiaran radio, penayangan acara adat di Televisi lokal, pemasangan iklan cinta budaya dan melakukan inventarisasi.