Tabu dalam Bahasa Karo
View/ Open
Date
2018Author
Barus, Jumat
Advisor(s)
Sibarani, Robert
Saragih, Amrin
Mulyadi
Metadata
Show full item recordAbstract
This study aimed to examine and to make pattern of verbal and nonverbal
taboo expression in Karo language, that are considered breaking the language
rules and can result in "loss of face" or cause harm to both of speakers and
listeners. Based on the anthropolinguistics approach and ethnographic method,
taboo was analyzed through the prism of the core anthropological concept, culture,
and, as such, seeks to uncover the meaning behind the use, misuse, non-use of
language, its different forms, registers and styles based on the local community
understandings. This research was conducted in five sub-districts in Tanah Karo
District, North Sumatra Province, namely Berastagi, Kabanjahe, Tiga Panah,
Barus Jahe, and Simpang Empat Districts. Data were collected by participantobservation
and interview method. The data were words, phrases, and clitics and
that were considered taboo both lexically and culturally, and kinship relationship
that were considered taboo to make direct communication, strategy to avoid the
tabooness, punishment for taboo violators, expression meanings and functions of
taboo, values, norms, and shift of taboo. Data were analyzed by domain, taxonomy,
componential, and theme analysis. The results showed that Karo taboo expression
could be classified into three categories, namely: kinship taboo, context-specific
taboo, and general taboo. The tabooness was not only based on the lexical aspect
or the text used, but also because of the context and co-text used in the expression
process. Taboo expressions in kinship could be avoided by intermediary strategies,
and context-specific taboos and general taboos could be avoided by their forms of
euphemism. The meanings of the taboo were: insulting, demeaning honor,
arrogance, increasing others’ sadness, triggering disgraceful deeds, opening up
disgrace, and harassing a glorified person. Taboo rules served to maintain
relationships, show the same rights and desires, educate to be humble, and avoid
people from disputes. The taboo value in the Karo language is 'peace', while the
norm is to maintain self-respect and create a peaceful life using selected methods
and languages. The shift in the meaning of taboos has begun to occur due to
factors of education, environment, globalization, and marriage, however, the
preservation of the taboo is still being maintained for its functions to preserve
harmonious sustainability in the society. Penelitian ini bertujuan untuk menelaah dan memolakan ekspresi tabu
dalam bahasa Karo, yaitu ekspresi verbal dan nonverbal yang dianggap melanggar
aturan bahasa, dan ekspresi verbal yang dapat mengakibatkan “kehilangan muka”
atau menimbulkan bahaya bagi penutur dan pendengarnya. Berdasarkan ancangan
antropolinguistik dan metode etnografi, tabu dianalisis dengan mencari makna di
balik penggunaan, kesalahpenggunaan, ketidakpenggunaan, bahasa dan di balik
bentuk dan gayanya yang berbeda berdasarkan pemahaman masyarakat setempat.
Penelitian ini dilakukan di lima kecamatan di Kabupaten Tanah Karo, Provinsi
Sumatera Utara, yakni Kecamatan Berastagi, Kabanjahe, Tiga Panah, Barus Jahe,
dan Simpang Empat. Pengumpulan data menggunakan metode pengamatanpartisipatif
dan wawancara terhadap sembilan orang informan. Datanya adalah
kata, frasa, dan klitik yang dianggap tabu secara leksikal maupun budaya, ekspresi
dan hubungan kekerabatan yang dianggap tabu dalam komunikasi, strategi
menghindari tabu, sanksi pelanggar tabu, makna ekspresi tabu, fungsi aturan tabu,
nilai dan norma tabu, dan pergeseran tabu. Data dianalisis dengan analisis domain,
taksonomi, komponensial, dan tema. Hasilnya menunjukkan bahwa tabu bahasa
Karo digolongkan ke dalam tiga golongan, yaitu: tabu ekspresi dalam hubungan
kekerabatan, tabu ekspresi konteks-spesifik, dan tabu ekspresi umum. Ketabuan
tidak hanya berdasarkan aspek leksikal atau teks yang digunakan, namun juga
karena konteks dan ko-teks dalam proses ekspresinya. Ekspresi tabu dalam
hubungan kekerabatan dapat dihindari dengan strategi perantara, dan tabu konteksspesifik
dan tabu umum dapat dihindari dengan bentuk eufemisme masing-masing.
Ekspresi tabu bermakna: menghina, merendahkan kehormatan, kesombongan,
menambah kesedihan orang lain, memicu perbuatan tercela, membuka aib, dan
melecehkan orang yang dimuliakan. Aturan tabu berfungsi untuk menjaga
hubungan, menunjukkan hak dan keinginan yang sama, mendidik untuk rendah
hati, dan menghindarikan orang dari perselisihan. Nilai tabu dalam bahasa Karo
adalah „kedamaian‟, sedangkan normanya adalah menjaga kehormatan diri dan
menciptakan kehidupan yang damai dengan menggunakan cara dan bahasa yang
terpilih. Pergeseran makna tabu telah terjadi disebabkan faktor pendidikan,
lingkungan, globalisasi, dan perkawinan, namun pelestariannya masih terus
dilakukan karena berfungsi untuk menjaga keharmonisan dalam masyarakat.