dc.description.abstract | Negara Jepang merupakan negara maju yang tidak terlepas dari seni bela
diri. Salah satunya yang masih tetap dipertahankan sampai sekarang ini adalah
karate. Seni yang menumbuhkan fundamental digunakan untuk menjaga kekuatan
dan keseimbangan. Karate adalah seni beladiri linear yang memanfaatkan tenaga
sendiri dalam keadaan fokus untuk membela diri terhadap serangan.
Selanjutnya sekitar tahun1931 Gichin Funakoshi dikenal sebagai bapak
karate modern, mengubah istilah karate kedalam huruf kanji Jepang yang
terdengar lebih baik. Dalam pertemuan bersama para master Okinawa makna yang
sama diambil. Dan sejak saat itu istilah “karate” dengan huruf kanji berbeda
namun pengucapan dan makna yang sama digunakan sampai sekarang. Saat ini
istilah karate berasal dari dua kata dalam huruf kanji “kara”yang bermakna
kosong dan “te” yang berarti tangan. Karate berarti sebuah seni beladiri yang
memungkinkan seseorang mempertahankan diri tanpa senjata.
Di Jepang, pada proses perkembangannya kemudian, kara berarti kosong
dan te berarti tangan. Jadi hakikatnya, seni beladiri karate merupakan suatu bentuk
beladiri yang mengandalkan tangan kosong.
Karate berkaitan erat dengan konfusius yang sangat berpengaruh dalam
semua aspek mental-spritual masyarakat Jepang yang otomatis memiliki peran
penting turut memberi warna terhadap esensi murni yang menjadi dasar karatel-do
itu sendiri. Konfusius menekankan sikap moral yang baik terhadap masyarakat,
etika adalah hal yang utama dalam konfusius. Dalam hal ini, karate
mengakomodasi nilai-nilai budaya asli orang Jepang, menekankan kepada
penjernihan jiwa dan pikiran atau ketenangan dari pikiran yang damai. Didalam karate, terdapat hubungan senioritas antara senior-junior yang
dalam istilahnya dalam bahasa Jepang adalah senpai-kohai. Oleh karena itu, sikap
hormat harus diterapkan. Seorang kohai harus memberi hormat kepada senpai
baik ketika melakukan latihan maupun ketika di luar latihan. Disinilah terlihat
budaya hormat masyarakat Jepang menjadi landasan seorang karateka.
Bukan hanya sikap hormat dan hubungan senioritas yang muncul dalam
karate, tetapi kedisplinan, sopan santun dan juga penguasaan diri yang tinggi juga
mempunyai bagian yang penting. Dimana seorang karateka harus menguasai
disiplin dalam sikap dan waktu dan dapat menguasai diri dalam situasi apapun,
yang mana pada tujuan akhirnya dapat menjadikan seorang karateka yang
memiliki etika, moral dan sopan santun terhadap siapa saja. Dalam hal ini, lima
hubungan moral terhadap masyarakat (gorin) erat kaitannya dengan analisis
interaksi sosial karateka di dojo Inkado LPPM USU karena dalam hal yang sama
membahas tentang kehormatan seorang bawahan terhadap pimpina dan begitu
juga sebaliknya.
Dalam hal ini, penulis melakukan observasi di dojo Inkado LPPM USU
sebagai tempat penelitian dalam skripsi. Penulis juga melakukan wawancara
kepada karateka di dojo Inkado LPPM USU sebagai sumber data dalam
penyusunan skripsi ini. Hasil data keseluruhan yang telah di dapatkan dalam
kaitan analisis interaksi sosial karateka di dojo inkado LPPM USU kaitannya
dalam lima hubungan moral terhadap masyarakat (Gorin) dalam ajaran konfusius
adalah tiga yang dipakai diantara lima hubungan moral yaitu, loyalitas bawahan
terhadap pimpinan atau dalam karate adalah hubungan antara kohai-shihan, kohaisenpai,
hubungan antara ayah dengan anak merupakan sikap yang tidak terlihat di dalam dojo Inkado LPPM USU karena di luar dojo. Tugas antara suami dan istri
merupakan sikap atau interaksi yang tak terlihat di dojo Inkado LPPM USU
karena suami dan istri merupakan non karateka di dojo Inkado LPPM USU.
Ketaatan terhadap sesepuh (orang yang lebih tua), dalam hal ini satu sikap yang
terlihat dalam karateka di dojo Inkado LPPM USU yaitu interaksi antara kohai
terhadap senpai dan saling percaya antar teman, dalam karate yaitu interaksi
sesama karateka di dojo Inkado LPPM USU juga terlihat dan karateka
mencerminkan sikap yang baik, saling menghormati sesama karateka maupun
publik. | en_US |