Taksonomi Ekoleksikon Peunajoh Aceh: Kajian Ekolinguistik
View/ Open
Date
2019Author
Jalil, Zurriyati A
Advisor(s)
Sinar, T. Silvana
Widayati, Dwi
Gustianingsih
Metadata
Show full item recordAbstract
This research studies about Peunajoh Aceh (Acehnese traditional cuisine). It is
aimed to (i) identify the taxonomy of ecolexicon in peunajoh Aceh; (ii) describe the
perception of Acehnese people towards peunajoh Aceh; and (iii) explain the
language and culture sustainability of peunajoh Aceh. Therefore, 60 Acehnese
characteristic foods were used as the research object. This research used
qualitative and quantitative approaches. Qualitative approach was used to analyze
the data of ecolexicon taxonomy; while quantitative approach was used to analyze
the data of perception and language sustainability. These data were collected
through document study, observation, interviews, and questionnaires which
involved 100 informants or respondents. The results of the research demonstrated
that the lexicon and ecolexicon taxonomy found consisted of hyponymy,
meronymy, and synonym. The lexicon taxonomy included Timphan, Bu, Bada, Ubi,
Ruti, Kueh, eunajoh Ie Sterap, Boh, Adee, Peunajoh Raya, Bhoi, and Nyab.
Meanwhile, thr ecolexicon taxonomy consisted of biotic and abiotic taxonomy;
biotic ecolexicon consisted of plants, such as: (1) seeds; (2) tubers; (3) palms; (4)
grass; (5) leaves; (6) Fruits; and (7) Fungus. The abiotic ecolexicon taxonomy
consisted of kapur, water, and salt. This description also explains that no peunajoh
Aceh is made of marine biota and meat. The perception of the Acehnese toward
peunajoh Aceh differs in each age category of the informants. Some cuisines were
still well-known by the adults, older people and senior citizens, but some of
peunajoh Aceh were less noticed, such as kipang kacang. The language
sustainability related to peunajoh Aceh, according to the perception of the
Acehnese, demonstrated that cakes which lexicon of their names were derived
from their raw materials such as bada pisang and bu leukat were categorized into
safe level. In addition, the cakes in safe level were frequently used in cultural and
ceremonial events, such as timphan. The cakes which lexicon of their names were
based on forms of ecology, such as bada reuteuk, were less known or categorized
into critical level. Penelitian ini mengkaji makanan tradisional Aceh (Peunajoh Aceh). Tujuannya
adalah (i) mengidentifikasikan taksonomi ekoleksikon pada peunajoh Aceh; (ii)
mendeskripsikan persepsi masyarakat Aceh terhadap peunajoh Aceh; (iii)
menjelaskan kebertahanan bahasa dan budaya peunajoh Aceh. Untuk itu, telah
dipilih 60 makanan khas Aceh yang dijadikan sebagai objek penelitian. Penelitian
ini dilaksanakan dengan dua pendekatan, yaitu kualitatif dan kuantitatif.
Pendekatan kualitatif dipakai untuk menganalisis data taksanomi ekoleksikon,
sedangkan pendekatan kuantitatif digunakan untuk menganalisis data persepsi dan
pemertahanan bahasa. Datanya diperoleh melalui studi dokumen, observasi,
wawancara dan kuesioner dengan melibatkan 100 orang informen atau responden.
Hasil penelitian menunjukkan taksonomi leksikon dan ekoleksikon terdiri dari
taksonomi hiponimi, meronimi, dan sinonimi. Selanjutnya taksonomi leksikon
meliputi Timphan, Bu, Bada, Ubi, Ruti, Kueh, Peunajoh Ie Sierap, Boh, Adee,
Peunajoh Raya, Bhoi, dan Nyab. Sedangkan taksonomi ekoleksikon terdiri dari
biotik dan abiotik taksonomi ekoleksikon biotik dari tumbuh-tumbuhan, yaitu: (1)
bibi-bijian; (2) Umbi-umbian; (3) Palma; (4) Rumput-rumputan; (5) Daun-daunan;
(6) Buahan-buahan; (7) Fungi. Sedangkan taksanomi ekoleksikon hewan, yaitu:
telor ayam dan telor bebek. Adapun taksonomi ekoleksikon abiotik adalah kapur,
air dan garam. Gambaran ini sekaligus menjelaskan bahwa tidak ada peunajoh
Aceh yang terbuat dari biota laut dan daging hewan. Kemudian persepsi
masyarakat Aceh terhadap setiap peunajoh Aceh berbeda untuk setiap kategori
usia informen. Sebagiannya masih dikenal baik oleh orang dewasa, orang tua dan
lansia, namun terdapat sebagian peunajoh Aceh sudah kurang diperhatikan, seperti
kipang kacang. Selanjutnya kebertahanan bahasa yang berkaitan dengan peunajoh
Aceh berdasarkan persepsi mereka menunjukkan kue-kue yang namaya
berleksikon langsung dari wujud dasar bahannya, seperti bada pisang dan bu
leukat dapat dikategorikan pada level aman. Selain itu, yang berada pada level
aman adalah kue-kue yang sering dimanfaatkan untuk peristiwa budaya dan acara
seremonial, seperti timphan. Sementara kue yang namanya berleksikon atas dasar
bentuk ekologi, seperti bada reuteuk sangat kurang dikenal atau dapat
dikategorikan pada level sangat kritis.