Makrofauna Tanah Sebagai Bioindikator pada Lahan Perkebunan Kelapa Sawit
View/ Open
Date
2020Author
John, Arlen Hanel
Advisor(s)
Rauf, Abdul
Sabrina, T.
Akoeb, Erwin Nyak
Metadata
Show full item recordAbstract
PT. Socfin Indonesia (Socfindo) telah memulai aktivitas pembukaan dan pembangunan perkebunan kelapa sawit sejak tahun 1906 di wilayah/areal Sei Liput, kabupaten Aceh Timur (sekarang Aceh Tamiang), Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sampai saat ini terdapat 3 (tiga) wilayah areal perkebunan kelapa sawit milik perusahaan ini, dengan tahun pemanfaatan lahan dan generasi tanaman yang berbeda, pertama yang terdapat di areal Sei Liput terdiri dari 4 (empat) generasi, yaitu generasi II (2 x penanaman), yang ditanami pada tahun 1985-2010, dan 2010 sampai sekarang (± 32 tahun); generasi III (3 x penanaman), yang ditanami pada tahun 1968-1993, 1993-2014, dan 2014 sampai sekarang (± 49 tahun); generasi IV (4 x penanaman), yang ditanami pada tahun 1925-1950, 1950-1975, 1975-1996, dan 1996 sampai sekarang (± 92 tahun); dan generasi V (5 x penanaman), yang ditanami pada tahun 1909-1934, 1934-1959, 1959-1984, 1984-2009, dan 2009 sampai sekarang (± 108 tahun). Kebun areal Aek Loba, Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara terdiri dari 4 (empat) generasi, yaitu generasi I (1 x penanaman), yang ditanami pada tahun 1987 sampai sekarang (± 31 tahun); generasi II (2 x penanaman), yang ditanami pada tahun 1970-1995, 1995 sampai sekarang (± 47 tahun); generasi III (3 x penanaman), yang ditanami pada tahun 1943-1968, 1968-197593, dan 1993 sampai sekarang (± 74 tahun); dan generasi IV (4 x penanaman), yang ditanami pada tahun 1931-1956, 1956-1981, 1981-2006, dan 2006 sampai sekarang (± 86 tahun). Kebun areal Negeri Lama, Kabupaten Labuhanbatu, Provinsi Sumatera Utara yang merupakan lahan Gambut terdiri dari 2 (dua) generasi, yaitu generasi III (3 x penanaman), yang ditanami pada tahun 1927-1958, 1958-1996, dan 1996 sampai sekarang (± 90 tahun); generasi IV (4 x penanaman), yang ditanami pada tahun 1927-1957, 1957-1989, 1989-2012, dan 2012 sampai sekarang (± 90 tahun). Lamanya waktu pemanfaatan dan pengelolaan lahan di setiap areal dan generasi tanaman perkebunan kelapa sawit akan menurunkan kualitas tanah, baik sifat fisik-kimia-biologi tanah, keadaan ini turut menentukan keberadaan makrofauna tanah, baik keberadaan spesies, kepadatan populasi, kepadatan relatif (KR), frekuensi kehadiran (FK) yang dapat digunakan sebagai spesies bioindikator kualitas tanah, dan indeks diversitas (H’), indeks equitabilitas (E), dan indeks similaritas (S) sebagai bioindikator komunitas atau ekosistem tanah di areal perkebunan kelapa sawit.
Fauna tanah, diantaranya makrofauna tanah merupakan bagian dari keanekaragaman hayati tanah yang berperan penting dalam perbaikan sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Dalam melakukan dekomposisi bahan organik, makrofauna tanah lebih banyak berperan pada proses pemecahan dan pengangkutan bahan organik, serta memberikan fasilitas lingkungan yang lebih baik bagi proses dekomposisi lebih lanjut yang dilakukan oleh kelompok mesofauna dan mikrofauna tanah, serta berbagai jenis bakteri dan fungi. Makrofauna tanah dalam menjalankan berbagai aktifitas hidupnya sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan, seperti kondisi-kondisi fisik, kimia, biotis dan tersedianya makanan, serta cara pengolahan tanah yang secara umum dapat mempengaruhi populasi fauna tanah, baik kehadiran, penyebaran, kelimpahan maupun keanekaragaman spesiesnya.
Penelitian dilakukan pada 3 lokasi areal perkebunan, yaitu di (1) Sei Liput dengan jenis tanah Ultisol (Podsolik Merah Kuning), (2) Aek Loba dengan jenis tanah Tuf Liparit, dan (3) Negeri Lama dengan jenis tanah Gambut. Penelitian ini diawali untuk mengetahui keberadaan jenis, kepadatan, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran makrofauna tanah pada ke 3 lokasi areal perkebunan, serta mengetahui makrofauna tanah yang berperan sebagai bioindikator Kualitas Tanah, dan komunitas/ekosistem tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan keberadaan jenis makrofauna tanah diantara ke 3 lokasi penelitian, dimana pada lokasi kebun Sei Liput didapatkan sebanyak 25 spesies yang termasuk kedalam 2 filum, 6 kelas, 12 ordo, 20 famili, dan 23 genus, pada lokasi kebun Aek Loba didapatkan sebanyak 29 spesies yang termasuk kedalam 2 Filum, 3 Kelas, 11 Ordo, 21 Famili, 29 genus, dan pada lokasi kebun Negeri Lama didapatkan sebanyak 22 spesies yang termasuk kedalam 3 Filum, 6 Kelas, 10 Ordo, 16 Famili, 19 genus.
Hasil analisis terhadap nilai kepadatan populasi makrofauna tanah pada lokasi kebun Sei Liput didapatkan paling tinggi sebanyak 217,46 individu/m2 yang terdiri dari 17 spesies pada Generasi II (sudah 2 x tanam), dengan pemanfaatan lahan telah berlangsung selama ± 32 tahun, pada areal kebun Aek Loba didapatkan yang paling tinggi sebanyak 401,53 individu/m2 dari 13 jenis/spesies makrofauna tanah pada Generasi I (1 x penanaman), dengan pemanfaatan lahan telah berlangsung selama ± 30 tahun, dan pada areal kebun Negeri Lama didapatkan yang paling tinggi sebanyak 106,67 individu/m2 dari 16 spesies makrofauna tanah pada Generasi IV (Gambut) (sudah 3 x tanam) dengan pemanfaatan telah berlangsung selama ± 90 tahun.
Sedangkan spesies makrofauna tanah yang memiliki nilai kepadatan populasi tertinggi pada lokasi kebun Sei Liput untuk semua generasi adalah cacing tanah dari spesies Pontoscolex corethrurus, yaitu dengan nilai kepadatan (K) sebesar 96,81 individu/m2, kepadatan relatif (KR) sebesar 44,52 % pada Generasi II, kemudian diikuti pada Generasi IV dengan nilai kepadatan (K) sebesar 93,64 individu/m2, kepadatan relatif (KR) sebesar 52,67 %, Generasi V dengan nilai kepadatan (K) sebesar 47,61 individu/m2, kepadatan relatif (KR) sebesar 31,92 %, dan Generasi III dengan nilai kepadatan (K) sebesar 34,92 individu/m2, kepadatan relatif (KR) sebesar 27,85 %. Pada lokasi kebun Aek Loba pada semua generasi juga cacing tanah dari spesies Pontoscolex corethrurus, yaitu dengan nilai kepadatan (K) sebesar 328,54 individu/m2, kepadatan relatif (KR) sebesar 82,46% pada Generasi I, kemudian diikuti pada generasi III dengan nilai kepadatan 139,67 individu/m2, kepadatan relatif (KR) sebesar 75,87 %, generasi IV dengan nilai kepadatan 77,77 individu/m2, kepadatan relatif (KR) sebesar 76,55 %, dan generasi II dengan nilai kepadatan 96,81 individu/m2, kepadatan relatif (KR) sebesar 24,11 %, dan pada lokasi kebun Negeri Lama untuk ke 4 (empat) generasi yang ada juga cacing tanah dari spesies Pontoscolex corethrurus, yaitu dengan nilai kepadatan (K) sebesar 20,00 individu/m2 dan kepadatan relatif (KR) sebesar 18,75% pada Generasi IV (Gambut), kemudian diikuti generasi III (Gambut) dengan nilai kepadatan (K) 13,33 individu/m2 dan kepadatan relatif (KR) sebesar 15,00 %, dan pada generasi III (Gambut) serta generasi IV (Gambut Mineral) yaitu dengan nilai kepadatan (K) sebesar 13,33 individu/m2 dan kepadatan relatif (KR) sebesar13,04%.
Hasil analisis data mengenai frekuensi kehadiran dan konstansi makrofauna tanah pada lokasi kebun Sei Liput diperoleh sebanyak 3 spesies makrofauna tanah, yaitu Pontoscolex corethrurus, Odontoponera denticulata, dan Vostax apicedentatus yang terdapat pada ke empat generasi dengan nilai frekuensi kehadiran yang absolut, konstan, dan aksidental. Cacing tanah dari pesies Pontoscolex corethrurus ditemukan dengan frekuensi kehadiran absolut (sangat sering). Lokasi kebun Aek Loba diperoleh sebanyak 4 spesies makrofauna tanah, yaitu Pontoscolex corethrurus, Geophilus flavus, Vostax apicedentatus, dan Solenopsis fugax yang terdapat pada ke empat generasi dengan nilai frekuensi kehadiran yang absolut, konstan, assesori dan aksidental. Cacing tanah dari pesies Pontoscolex corethrurus ditemukan dengan frekuensi kehadiran absolut (sangat sering) pada keempat generasi. Lokasi areal kebun Negeri Lama diperoleh sebanyak 9 spesies makrofauna tanah, yaitu Pontoscolex corethrurus, Tapinopa bilineata, Paraphrynus mexicanus, Loxosceles laeta, Geophilus flavus, Blatta orientalis, Blattella germanica, Odontoponera denticulata, dan Macrotermes gilvus yang terdapat pada keempat generasi dengan nilai frekuensi kehadiran yang absolut, konstan, assesori dan aksidental. Cacing tanah dari spesies Pontoscolex corethrurus ditemukan pada generasi III (Gambut), Generasi III (Gambut Mineral), dan Generasi IV (Gambut Mineral) dengan frekuensi kehadiran konstan (sering) dan pada generasi IV (Gambut) dengan frekuensi kehadiran absolut (sangat sering). Keadaan ini menunjukkan bahwa cacing tanah dari spesies Pontoscolex corethrurus memiliki dominansi yang tinggi pada semua areal perkebunan kelapa sawit. Hal ini menunjukkan bahwa spesies tersebut merupakan spesies yang memiliki daya adaptasi dan kisaran toleransi yang luas terhadap kondisi lingkungan.
Hasil dari nilai KR ≥ 10 %, dan FK ≥ 25 % Spesies makrofauna tanah didapatkan 8 spesies yang berperan sebagai bioindikator kualitas tanah dari jumlah total 40 spesies yang diperoleh, diantara 8 spesies bioindikator tersebut ternyata cacing tanah dari spesies Pontoscolex corethrurus yang mampu hidup dan berkembang biak dengan baik pada ke 3 areal perkebunan di semua generasi tanaman. Sedangkan untuk bioindikator komunitas/ekosistem tanah didapatkan pada lokasi kebun areal Sei Liput Indek Keanekaragaman (H’) di semua generasi (II, III, IV, V) tanaman kelapa sawit dengan kategori B, yaitu memiliki makrofauna tanah dengan keanekaragaman sedang, penyebaran sedang, dan kestabilan komunitas. Begitu juga nilai Indeks Keseragaman (E) pada generasi II, III, IV dan V didapatkan dengan kategori C, yaitu memiliki makrofauna tanah dengan kemerataan tinggi dan komunitas stabil, Lokasi areal Aek Loba didapatkan pada generasi tanaman I dan III dengan kategori A, yaitu memiliki makrofauna tanah dengan keanekaragaman rendah, penyebaran rendah, dan kestabilan komunitas rendah. Sedangkan pada generasi II dan IV didapatkan dengan kategori B, yaitu memiliki makrofauna tanah dengan keanekaragaman sedang, penyebaran sedang, dan kestabilan komunitas sedang. Sedangkan nilai Indeks Keseragaman (E) didapatkan pada generasi II, III dan IV dengan kategori B, yaitu memiliki makrofauna tanah dengan kemerataan sedang dan komunitas labil, dan pada generasi I dengan kategori A, yaitu memiliki makrofauna tanah dengan kemerataan rendah dan komunitas tertekan. Pada kebun areal Negeri Lama di semua generasi tanaman didapatkan dengan kategori B, yaitu memiliki makrofauna tanah dengan keanekaragaman sedang, penyebaran sedang, dan kestabilan komunitas sedang. Serta nilai Indeks keseragaman pada semua generasi tanaman didapatkan dengan kategori C, yaitu memiliki makrofauna tanah dengan kemerataan tinggi dan komunitas stabil.
Hasil analisis korelasi yang diperoleh pada areal kebun Sei Liput didapatkan kondisi suhu tanah berkorelasi negatif terhadap nilai keanekaragaman makrofauna tanah, yaitu apabila terjadi kenaikan suhu tanah maka nilai keanekaragaman makrofauna tanah akan mengalami penurunan, sedangkan faktor lainnya (kelembaban, pH, C-organik tanah) menunjukkan korelasi positif, yaitu bila terjadi kenaikan nilai faktor fisik-kimia, maka nilai keanekaragamannya juga akan meningkat; Sedangkan korelasi sifat fisik-kimia tanah terhadap nilai keseragaman makrofauna tanah didapatkan faktor suhu dan kandungan C-organik menunjukkan korelasi positif, serta kelembaban dan pH tanah menunjukkan korelasi negatif. Pada areal kebun Aek Loba didapatkan korelasi antara faktor fisik-kimia tanah terhadap nilai keanekaragaman dan keseragaman makrofauna tanah dengan hasil korelasi negatif. Pada areal kebun Negeri Lama didapatkan korelasi sifat fisik-kimia tanah terhadap nilai keanekaragaman dan keseragaman makrofauna tanah, yaitu faktor suhu dan kandungan C-organik menunjukkan korelasi negatif, sedangkan kelembaban dan pH tanah menunjukkan korelasi positif.