Relasi Budaya Perantau Minangkabau Studi Kasus Wek IV Kampung Jawa Kota Padangsidimpuan
Abstract
Dalam tradisi Minangkabau, merantau merupakan kewajiban bagi bujang (pemuda). Seorang laki-laki dewasa dianggap belum berguna jika ia belum merantau dan belajar hidup di tanah orang. Kalimat ini menunjukkan bahwa merantau merupakan suatu konsepsi umum, bahkan wajib, yang berada di alam pikiran masyarakat Minangkabau.
Sistem kekerabatan Mandailing manganut patrilineal, yaitu mengikuti keturunan sebelum bapak atau orangtua lelakinya, oleh karena itu hanya laki-laki saja yang menyambung marga bapaknya dan bukan marga dari pihak ibunya, maka nama-nama marga atau clan nama-nama suku Mandailing, baik pria dan wanita suku Mandailing memakai marga berasal dari nama marga bapaknya (orangtua laki). Bagi wanita suku Mandailing yang bermarga tetap memakai marga bapaknya (orangtua laki) dan tidak memakai marga suaminya setelah menikah.
Dalam sistem matrilineal suku Minangkabau, berbentuk kawin bertandang (dimana kedudukan pria hanya sebagai tamu dan tidak berhak atas anaknya serta harta benda dalam rumah tangga), kawin menetap (suami istri tinggal dalam satu rumah dan membentuk keluarga sendiri) dan kawin bebas (setiap orang bebas memilih pasangannya masing-masing tanpa terikat kondisi khusus yaitu hukum adat dalam kelompok). Kawin bebas berlaku bagi mereka yang telah melakukan perpindahan tempat tinggal atau bermigrasi.
Adaptasi Minangkabau Adalah menarik perhatian, bahwa pada umumnya para perantau Minang ini mampu menyesuaikan diri dengan adat istiadat serta kebudayaan daerah rantaunya, yang antara lain terlihat pada hampir tidak pernahnya terjadi konflik dengan masyarakat tempatan yang menjadi tuan rumahnya. Mungkin sekali hal ini disebabkan oleh pepatah bijak Minangkabau yang berbunyi: Dimano bumi dipijak, disitu langik dijunjuang yang bermakna menghargai kultur dan budaya setempat tanpa harus kehilangan kultur dan budaya sendiri.
Collections
- Undergraduate Theses [1812]