dc.description.abstract | Pada tahun 1467 sampai tahun 1477, di Jepang terjadi perang Onin. Selama perang ini berlangsung mengakibatkan banyak korban jiwa dan kehancuran ibu kota. Pada masa ini para prajurit dikirim ke medan laga. Perang Onin yang terjadi pada tahun 1467 disusul dengan pemberontakan-pemberontakan di propinsi-propinsi, mengakibatkan menguatnya penguasa-penguasa daerah atau para tuan tanah, yang memiliki otoritas kekuasaan sipil dan politis, ini lah dimana masa sengoku dimulai. Keadaan yang demikian ini memunculkan elite daimyo, yang menguasai tanah-tanah di daerah dan masyarakat yang berdiam di daerah tersebut.
Pertentangan dan kekacauan yang dipicu oleh perebutan pengaruh dan kekuasaan semakin besar ketika bangsa Portugis masuk ke wilayah Jepang melalui pulau Tanageshima pada tahun 1543. Kedatangan bangsa Portugis di Jepang semakin memperkeruh suasana sebab bangsa Portugis memperkenalkan senjata api yang dapat segera dimanfaatkan dalam pertempuran-pertempuran sipil. Pada masa ini para daimyo saling memperebutkan kekuasaan, dimana mengakibatkan kekacauan politik, yang mengakibatkan kaisar yang seharusnya memiliki kekuasaan tertinggi, tidak bisa mengendalikan para bangsawan militer yang berperang.
Masa peralihan dimulai ketika tiga orang pemimpin perang yaitu Oda Nobunaga, Toyotomi Hideyoshi dan Tokugawa Ieyasu berhasil mengembalikan ketertiban, mempersatukan kembali bangsa Jepang. Oda Nobunaga mencoba mempersatukan Jepang dibawah kekuasaanya, bersama Hideyoshi dan Ieyasu. Menyatukan kekuatan dan strategi untuk mengalahkan daimyo yang lain.
Kondisi zaman yang telah berubah, mengubah strategi dalam medan peperangan. Pasukan besar prajurit biasa yang bersenjatakan tombak panjang dan terlatih untuk bertempur dalam susunan yang rapat telah terbukti mampu mengalahkan prajurit bangsawan lain. Senjata api yang berkembang pun menjadi salah satu alat yang digunakan dalam peperangan. Hal ini mengakibatkan pakaian perang juga dikembangkan, untuk mengatasi senjata api. Pada penelitian ini, menggunakan acuan teori Malinowski mengenai fungsional suatu benda, dan Peirce mengenai makna pada suatu benda. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Metode ini memberikan gambaran secermat mungkin mengenai sesuatu, dalam hal ini mengenai yoroi yang digunakan para samurai.
Awalnya pakaian perang hanya di buat dari bulu hewan, dan kulit tebal, pankaian tempur kemudian berkembang dengan bahan kulit yang dilekatkan dengan potongan kayu, selanjutnya berkembang dengan metode bahan kulit yang dikeraskan dengan vernis, hingga menggunakan potongan besi.
Bagian-bagian utama pakaian tempur Jepang terdiri dari; kabuto atau pelindung kepala, do atau pelindung badan, sode atau pelindung bahu. Selain dari itu ada juga bagian-bagian untuk menambah kesempurnaan perlindungan seperti; pelindung wajah, leher, tangan, betis, dan kaki yang disebut dengan kogusoku.
Masa sengoku dimana peperangan terus berlangsung menyebabkan para samurai tidak pergi tanpa baju zirah. Baju zirah yang awalnya melindungi diri dari anak panah tidak lagi efektif, karena pakaian perang tidak melindungi secara menyeluruh. Karena hal ini berkembanglah doumaru, haramaki, dan yoroi yang menghasilkan tousei gusoku atau baju zirah modern. Doumaru dan haramaki, sudah digunakan sejak masa Nara dan Azuchi-momoyama, namun tidak selengkap pada masa sengoku dalam pemakaiannya. Tousei dibentuk melihat keuntungan dari doumaru, haramaki, dan yoroi. Perbedaan yang paling kentara antara tousei gusoku dan yoroi adalah penjahitannya.
Haramaki merupakan baju zirah yang digunakan prajurit pejalan kaki atau ashigaru, sedangkan para panglima ashigaru menggunakan doumaru. Tousei gusoku, awalnya hanya digunakan para bangsawan atau samurai degan pangkat tinggi dan memiliki keuangan yang baik, dikarenakan mahalnya biaya produksi.
Menuju abad ke-16, muncul tren dimana para samurai kelas atas menghiasi baju zirah mereka, hal ini membuat mereka mencolok diantara banyak orang. Beberapa ketopong yang awalnya hanya dapat digunakan para panglima, menjadi hal biasa yang dapat digunakan samurai. Pada pertengahan abad ke-16 kembali muncul kawari kabuto, sebuah ketopong berhias yang hanya dimiliki para samurai berpangkat tinggi yang dapat membelinya. Tujuan dari kawari kabuto sendiri adalah menunjukkan pangkat, status sosial dan kekayaan samurai.
Pelindung wajah, hoate berfungsi melindungi wajah melengkapi kabuto. Penutup wajah ini didesain untuk menakut-nakuti lawan. Kemudian dikembangkan hingga melindungi bagian leher samurai. Kabuto dihiasi menjadi sangat eksentrik, digunakan juga untuk menunjukkan cita rasa seni dan keyakinan religius mereka. Hal ini, menunjukkan bagaimana beberapa hal pada pakaian perang tidak sekedar memiliki fungsi penting dalam menaklukkan lawan namun juga bagaimana menunjukkan identitas diri. | en_US |