dc.description.abstract | Sistem pemerintahan kolonial yang ditetapkan oleh pemerintah Hindia Belanda bersifat sentralistik dianggap kurangefektif dalam menjangkau daerah-daerah pedalaman Nusantara dan juga menghabiskan banyak biaya serta waktu yang cukup lama untuk urusan-urusan pemerintahan di Batavia. Peraturan desentralisasi dibuat pada tahun 1903 karena golongan liberal sudah banyak menduduki kursi parlemen pemerintahan di Belanda. Desentralisasi juga berfungsi untuk menambah pundi-pundi pemasukan negeri Belanda dan orang-orang Eropa yang menanamkan saham di wilayah kolonial Hindia Belanda.
Beberapa wilayah di Indonesia yang kita kenal sebagai kota awalnya adalah sebuah wilayah pusat pemerintahan Kerajaan yang bersifat tradisional. Pematang Siantar adalah salah satunya, wilayah ini merupakan pusat pemerintahan kerajaan Siantar di Simalungun yang ditetapkan sebagai gemeente pada tahun 1917 berdasarkan staatsblad No.285. Pematang Siantar ditetapkan sebagai kota juga di khususkan sebagai pusat penyebaran agama Kristen (Zending Missionaris) dengan tujuan mempermudah praktik kolonialisme pemerintah Hindia-Belanda di pedalaman Sumatera Timur. Letak Pematangsiantar secara geografis yang berada di tengah-tengah wilayah Simalungun dapat menghubungkan perdagangan antara wilayah Sumatera Timur dan Tapanuli.
Kemudian hasil dari penelitian ini terlihat bahwa tansformasi kota Pematang Siantar yang awalnya tradisional menjadi modern dari segi pemerintahan maupun perkembangan fisik dapat dilihat secara kasat mata, Perkembangan penduduk Eropa dan Timur Asing lainnya di wilayah inimembuat Pematang Siantar menjadi kota yang di desain khusus mirip seperti negeri asal mereka dan terjadi segregasi antara tiap Ras untuk mendapatkan rasa aman, namun lama kelamaan penduduk asli etnis Simalungun mulai tergeser karena hal ini. Setiap simbol fisik kota merupakan representasi dari kekuasaan Hindia Belanda yang berkuasa saat itu. | en_US |