Seni Keterampilan Pedang Shinkage-Ryu pada Heihō kadensho (兵法家 伝 書)
Abstract
Seni bertarung: kitab tradisi keluarga adalah teks jepang, teori dan praktek ilmu pedang dan strategi yang ditulis oleh samurai Yagyu Munenori pada tahun 1632. Munenori memulai karirnya di pemerintahan Tokugawa sebagai seorang hatamoto. Munenori memasuki kediaman Tokugawa Ieyasu pada usia muda, dan kemudian menjadi instruktur pedang untuk putra Ieyasu, Hidetada (Tokugawa Shogun ke-2). Kemudian, dia masih menjadi salah satu penasihat utama dari Shogun ke-3, Iemitsu.Pada sekitar 1632, Munenori menyelesaikan Heihō kadensho, sebuah risalah tentang praktek keterampilan pedang Shinkage-ryu dan bagaimana itu bisa diterapkan pada tingkat makro untuk kehidupan sehari-hari dan politik. Anak-anak Munenori, Yagyū Jūbei Mitsuyoshi dan Yagyū Munefuyu, juga merupakan pendekar pedang terkenal.Ini adalah salah satu risalah terkemuka tentang peperangan dalam literatur Jepang klasik. Seni bertarung: kitab tardisi keLuarga terbagi dalam tiga gulungan kitab, diantaranya adalah “pedang pembunuh, pedang pemberi kehidupan dan tanpa pedang” istilah tersebut berasal dari ajaran Buddha Zen yang diambil berdasarkan prinsip-prinsip tokoh samurai dalam masa perang yang penuh kekacauan atau pada masa damai. Pedang Pembunuh, mewakili penggunaan kekuatan untuk menekan kekacauan dan menghapus kan kekacauan. Pedang Pemberi Kehidupan, mewakili kesiapan untuk menghadapi masalah-masalah sebelum menjadi parah. Tanpa Pedang, mewakili sikap ketidak tergantungan dan memanfaatkan segala potensi sumber daya alam. Kitab ini ditulis pada zaman shogun tokugawa dimana militer china telah masuk sehingga banyaknya pengaruh terhadap seni bertarung di jepang. Salah satu pengaruh yang masuk adalah adanya ajaran tentang Tao dan Zen, sehingga membuat para petarung harus mengikuti ajaran tersebut. Seni bertarung mulai berkembang pesat di Jepang pada abad pertengahan di bawah kekuasaan militer, sekolah-sekolah ilmu pedang dikaitkan dengan Shinto, Taoisme, Zen yang hanya diketahui dan dipahami oleh segelintir orang. Penggabungan Zen dalam seni bertarung Jepang secara teknisi didasarkan pada pondasi mental meditasi Zen seperti yang diterapkan dalam duel maupun peperangan. Namun secara sosial dan budaya, penggabungan tersebut lebih didorong oleh fokus pada minat dalam kelas, klan, dan keluarga yang sama.Taoisme mempengaruhi perkembangan seni bertarung di Jepang, walaupun bukan menjadi filsafat maupun agama yang berdiri sendiri di Jepang, sebagaimana halnya di China. Taoisme awal di Jepang menggabungkan diri dengan apa yang disebut Shinto, Jalan Roh, atau animisme penduduk asli Jepang. Shinto seperti halnya Taoisme yang datang belakangan, menyerap banyak bahan dari Buddhisme. Seni bertarung bukan untuk membunuh orang, tetapi untuk membunuh kejahatan. Seni bertarung adalah strategi untuk memberi nafas kehidupan bagi banyak orang dengan cara membunuh kejahatan yang ada dalam diri seseorang. Ide bahwa membunuh orang jahat akan menyelamatkan begitu banyak orang tertindas berasal dari model kepemimpinan otoriter vertikal. Definisi bertarung yang adil sebagai sarana untuk menghapuskan penindasan juga dapat diterapkan dalam sistem sosial maupun politik tanpa batas, sejauh kejahatan dan kebaikan itu dipahami dalam hubungannya dengan kesejahteraan manusia, bukannya sifat ortodoks politis. Dalam konteks Jepang abad pertengahan, ide bahwa seorang penguasa adalah pemilik bangsa dan rakyat mungkin diwariskan dari pendewaan sosok seorang kaisar. Konsep ini sama sekali tidak memuat ajaran Zen maupun Buddha dan merupakan pola bagi seluruh perilaku korupsi. Sudah menjadi kebiasaan penganut Tao untuk membuat analogi antara mengendalikan individu dan kelompok, baik dalam bidang militer maupun politik.
Collections
- Diploma Papers [164]