Show simple item record

dc.contributor.advisorSitumorang, Hamzon
dc.contributor.authorMartono
dc.date.accessioned2018-05-21T05:48:57Z
dc.date.available2018-05-21T05:48:57Z
dc.date.issued2008
dc.identifier.urihttp://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/3079
dc.description.abstractMasyarakat jepang dewasa ini, mempunyai beraneka ragam agama dengan ciri ciri khasnya masing-masing. Tetapi keanekaragaman perkembangan agama tersebut hanya agama Shinto dapat di anggap sebagai agama asli bangsa Jepang. Karena agama ini muncul dan tumbuh di Jepang, yang dapat dibedakan dari agama yang datang dari luar seperti agama Buddha, Kristen, Islam, dan lain-lain. Shinto merupakan gabungan dua huruf yaitu : Shin (神), yang berarti roh atau dewa dan To(道), yang berarti jalan atau penjiarahan. Secara harfiah Shinto berarti jalan kami. Kami adalah obek sembahan dalam agama Shinto. Pada dasarnya kata ini dipakai dengan disertai rasa hormat yang tinggi karena menyangkut roh-roh suci yang mempunyai keutamaan dan kelebihan tertentu. Setelah Jepang melakukan hubungan-hubungan dengan daratan China maka pada abad-abad permulaan Masehi, pengaruh China melalui Korea khususnya di bidang keagamaan mulai memasuki Jepang. Konfusianisme dalam abad ke-empat, dan Buddhisme pada pertengahan abad ke-enam. Kedua kepercayaan ini berpengaruh besar terhadap sikap kelas penguasa, dan para cendikiawan sejak pada permulaan ajaran-ajaran ini diperkenalkan di Jepang. Kedatangan agama Buddha menimbulkan konflik di antara para penguasa. Terutama di antara dua klan, yakni klan soga dan klan mononobe. Klan soga menerima patung Buddha dan memuja sebagai ujigami klannya, sedangkan klan mononobe menolak untuk menerima sesuatu yang dianggap dari luar. Perselisihan antara klan itu dapat diselesaikan dengan munculnya putra mahkota Shotoku (574-622). Pangeran ini membuat undang-undang yang terdiri dari 17 pasal yang disebut Jushichijo no kenpo (604) dan tingkatan mahkota dua belas yang disebut dengan Junikani (603). Ke dua ketetapan ini bersumber dari pemikiran konfusianisme dan Buddha, yang kedua-duanya merupakan agama yang datang dari luar Jepang. Memasuki abad ke 8 agama shinto telah mengalami asimilasi dengan agama Buddha. Hal ini tampak jelas dari munculnya teori Honjisuijaku yang menganggap bahwa dewa-dewa Shinto dan dewa Buddha mempunyai tingkatan yang sama. Dari pemikiran ini muncul doktrin-doktri baru, seperti Tendai Shinto dan Shingon Shinto. Selanjutnya, perbaduan antara Shinto dan Buddha secara kongkrit dapat dilihat dari bentuk kepercayaan terhadap goryou yang disebut goryo shinko. Kepercayaan ini timbul pada zaman Heian, akibat dari suatu penafsiran rakyat bahwa banyaknya terjadi bencana alam dan wabah penyakit yang dianggap sebagai kutukan dari roh atau arwah. Oleh karena itu diselenggarakan matsuri yang ditujukan untuk goryo (arwah). Selain kepercayaan terhadap goryo, perwujudan kristalisasi antara Buddha dan Shinto dapat dilihat dari bentuk kepercayaan terhadap dewa hachiman yang ada tersebar di jinja-jinja di seluruh negara dan dewa ini dianggap sebagai dewa pelindung.en_US
dc.language.isoiden_US
dc.subjectShintoen_US
dc.subjectMelembagaen_US
dc.subjectProsesen_US
dc.titleProses Pembentukan Shinto Melembagaen_US
dc.typeThesisen_US
dc.identifier.nimNIM060722002en_US
dc.identifier.submitterIndra
dc.description.typeSkripsi Sarjanaen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record