dc.description.abstract | Pemberian otonomi kepada daerah berdampak pada pemberian kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk membentuk Peraturan Daerah. Agar isi dan prosedur pembentukan Peraturan Daerah tidak bertentangan dengan prinsip negara kesatuan dan hukum nasional, maka terhadap Peraturan Daerah perlu diadakan pengawasan, baik berupa evaluasi maupun pengujian. Di Indonesia terdapat dua mekanisme pengujian terhadap Peraturan Daerah, yaitu executive review oleh Menteri Dalam Negeri dan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dan judicial review oleh Mahkamah Agung. Dalam Prakteknya dua mekanisme ini belum dapat berjalan optimal karena dihadapkan beberapa permasalahan hingga menyebabkan ketidakpastian hukum. Hingga pada akhirnya perdebatan panjang mengenai dualisme pengujian Peraturan Daerah berujung pada diajukannya pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terhadap UUD 1945. Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 137/PUU/XIII/2015, yang menyatakan kewenangan Menteri Dalam Negeri dan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk membatalkan Perda sebagaimana diatur dalam Pasal 251 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, bertentangan dengan UUD 1945. Berdasarkan permasalahan tersebut maka yang akan dibahas dalam jurnal ini adalah bagaimana pengaturan pengujian Peraturan Daerah di Indonesia serta bagaimana pengaruh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU/XIII/2015 terhadap pengujian Peraturan Daerah. Dalam menyelesaikan permasalahan tersebut adapun metode yang digunakan oleh penulis ialah metode yuridis normative dengan meneliti UUD 1945, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU/XIII/2015 dan peraturan perundang-undangan yang dianggap menunjang dalam penulisan jurnal ini. Bahan sekunder yang diteliti adalah beberapa karya ilmiah seperti bahan pustaka, dokumen-dokumen dan buku-buku. | en_US |