dc.contributor.advisor | Nasution, Faisal Akbar | |
dc.contributor.advisor | Nasution, Mirza | |
dc.contributor.advisor | Sutiarnoto | |
dc.contributor.author | Yuliantri, Elmas | |
dc.date.accessioned | 2021-04-08T05:41:44Z | |
dc.date.available | 2021-04-08T05:41:44Z | |
dc.date.issued | 2020 | |
dc.identifier.uri | http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/31825 | |
dc.description.abstract | Affirmative action adalah diskriminasi positif yang mempunyai suatu tujuan dan bersifat sementara. Tujuannya adalah mengurangi diskriminasi atas kalangan marjinal yang kurang beruntung, terutama kalangan wanita, difabel dan orang kulit hitam dengan melakukan langkah-langkah khusus yang mempercepat tercapainya keadilan dan kesetaraan, meskipun ada pihak yang merasa dirugikan karena terdapat hak khusus yang sengaja diberikan Negara terhadap kalangan tertentu. Pasal 28H ayat 2 Undang Undang Dasar tahun 1945 menyebutkan “setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Dengan demikian, kebijakan affirmatif dapat diberlakukan di Indonesia kepada suatu kelompok tertentu yang dianggap dibutuhkan untuk diberikan suatu perlakuan khusus dan kemudahan. Selain itu, kebijakan affirmatif di Indonesia diberikan oleh pemerintah dalam bidang-bidang tertentu untuk memberi kesempatan yang lebih pada individu-individu dalam masyarakat yang paling tidak diuntungkan dalam struktur sosial, kondisi politik, maupun struktur ekonomi.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua merupakan komitmen Negara Indonesia untuk memberikan perspektif baru dalam menangani permasalahan yang terjadi di Provinsi Papua. Perspektif baru tersebut adalah melakukan perubahan pendekatan penanganan masalah di Papua dari pendekatan keamanan/stabilitas menjadi pendekatan sosial/kesejahteraan. Wujud affirmative action dapat terlihat dari dibentuknya Majelis Rakyat Papua (MRP) yang merupakan representasi cultural orang asli Papua dan lembaga Negara ini hanya satu-satunya di Indonesia.
Undang-Undang Otonomi Khusus Papua membuka peluang bagi perempuan Papua untuk mengembangkan diri dan memposisikan kaum wanita sebagai mitra sejajar kaum laki-laki. MRP merupakan bentuk nyata dari pemberdayaan perempuan yang diatur dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Untuk diketahui bahwa salah satu upaya untuk memperbaiki kondisi perempuan adalah memberdayakan melalui pengorganisasian. Ini merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan posisi bargaining kaum perempuan melalui pengorganisasian, yang dianggap sebagai langkah yang paling konkrit untuk dapat memberdayakan perempuan itu secara lebih baik.
MRP merupakan satu-satunya lembaga Negara di Indonesia yang dibangun dan dipersiapkan untuk pemberdayaan perempuan. Konsep yang diambil adalah memberikan kekuatan dalam bentuk kepastian hukum sehingga menarik minat dan partisipasi dari perempuan turut ikut memperjuangkan hak-hak kaum perempuan dalam kesetaraan gender. Peran aktif perempuan dalam MRP diperlukan karena di Papua perempuan masih menghadapi tantangan karena sistem dan struktur sosial dimasyarakat untuk ikut turut serta dalam pembangungan. Sehingga, fokus perrwakilan perempuan di MRP adalah pendidikan dan kesehatan serta pemberdayaan perempuan Papua agar terwujud peningkatan akses dan peran aktif perempuan dalam pembangunan. | en_US |
dc.description.abstract | Affirmative Action is positive ephemerally discrimination which is aimed to decrease discrimination toward disadvantageous marginality, especially women, the disabled, the Black by doing special measurements to accelerate the achievement of justice and equality although some groups of people feel harmed by the privileges given by the State. Article 28H, paragraph 2 of the 1945 Institution states that: Every person shall have the right to receive facilitation and special treatment to have the same opportunity and benefit in order to achieve equality and fairness. “Therefore, affirmative action can be used for a certain group of people that needs special treatment and facility. It is also provided for certain fields to give opportunity to disadvantageous people in social structure, political condition, and economic structure.
Law No. 21/2001 on Special Autonomy for Papua is the Indonesian commitment to give new perspective in handling any problems in Papua by changing problem solving approach from security/stability approach to the establishment MRP (Papua People’s Assembly) as the cultural representation of native Papua. It is the only State’s institution in Indonesia.
Law on Special Autonomy gives the opportunity for Papua women to develop their self and position them as equal partners of men. MRP is the reality of women empowerment which is specified in Law on Papua Special Autonomy. As we know, one of the efforts to improve women’s condition is by empowering them through the establishment of an organization to get better concrete bargaining position.
MRP is the only State Institution established and prepared to empower women. The concept is by giving power in the form of legal certainty so that they become interested and participating in struggling for their rights in the equality of gender. Women’s active role in MRP is needed because in Papua women are still challenging against the social system and structure in the development so that they represent education and health and Papua women empowerment fractions to realize in the access to and active role in development. | en_US |
dc.language.iso | id | en_US |
dc.publisher | Universitas Sumatera Utara | en_US |
dc.subject | Affirmative Action | en_US |
dc.subject | Pemberdayaan Perempuan | en_US |
dc.subject | Otonomi Khusus Papua | en_US |
dc.title | Affirmative Action Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Pemberdayaan Perempuan di Papua | en_US |
dc.type | Thesis | en_US |
dc.identifier.nim | NIM167005018 | |
dc.description.pages | 146 Halaman | en_US |
dc.description.type | Tesis Magister | en_US |