Tinjauan Yuridis terhadap Penerapan Asas Itikad Baik dalam Perjanjian (Studi pada Perjanjian Berlangganan Sambungan Telekomunikasi Telkom Flexi)
View/ Open
Date
2010Author
Febrina
Advisor(s)
Kalo, Syafruddin
Syahrin, Alvi
Sirait, Ningrum Natasya
Metadata
Show full item recordAbstract
Relationship between PT. Telkom and the customers of Post-Paid TELKOM
Flexi (Flexi classy) is formed through a subscription agreement or contract made by
PT. Telkom in a standard form. This form of agreement inflicts unfairness to the
customers because all contents of the agreement were unilaterally decided by PT.
Telkom. The existence of exoneration clauses in the standard contract is regarded
against the principle of good intention because the party/company that provide the
contract can include the beneficial stipulations to limit the responsibility of their
company when a wanprestasi (one of the parties signed a contract does not keep the
promise they state in the contract) or problems inflicting loss to each or each or both
parties occur by transferring the responsibility to the consumers. Based on this
condition, the purpose of this study was to find out how the principle of freedom of
making contract was applied in TELKOM Flexi Subscription Agreement, how the
principle of good intention was applied in the making and implementation of
TELKOM Flexi Subscription Agreement, and what is the responsibility of TELKOM
Flexi Service Provider toward the application of the principle of good intention under
the standard clauses.
This analytical descriptive study with normative juridical method was
conducted to describe and analyze the consumer’s rights of those subscribing
TELKOM Flexi service based on the positive law and Law on Consumer Protection,
civil elements and the consequences existing if the standard clauses stated in the
agreement/contract inflict loss to the consumers referring to the legal norms stated in
the regulation of legislation. The data for this study were mostly obtained through
library research.
In a principle of freedom of making contract-based agreement, the position of
bargaining power of the parties involved is relatively equal while in a standard
agreement/contract the position of bargaining power of the parties involved is not
equal. Usually, the position of the producer is stronger than that of consumer like
what is found in the TELKOM Flexi Subscription Agreement. The contents of the
agreement are decided by PT. Telkom as a producer. The consumer cannot bargain
to have the contents of the contract changed. The consumer must be satisfied with the
choice of take it or leave it. In the making of a contract, there is a principle saying
that an agreement is implemented with good intention as stated in Article 1338 (3) of
the Indonesian Civil Codes. This principle of good intention can be used in
evaluating whether or not the condition of exoneration found in the standard
agreement is valid. The good intention and appropriateness can also change or
complete an agreement. The agreement is not only decided by the parties involved in
formulating the agreement but also by good intention and appropriateness, that’s why good intention and appropriateness can also decide the contents of an
agreement. In practice, the standard clauses containing various exceptions make it
easy for the business practitioners avoid from their responsibility. The action taken
by the consumers to counter the unilateral action taken by the business practitioners
based on the standard clauses in an agreement is by filing their complaints to
TELKOM Flexi as a service provider to obtain their rights the users of service
provided while the solution through court of law has not been taken either
individually or in group.
The business practitioners are suggested to actively describe the contents and
purpose of the standard clauses (TELKOM Flexi Subscription Agreement) that any
consumer who to subscribe through the business practitioners do understand the
contents of the agreement that a misunderstanding in translating Article 6 (3) of
TELKOM Flexi Subscription Agreement can be avoided. The content of Article 6 (3)
should be changed into “imposing any sanction in the forms of isolating and
deactivating telecommunication connection can be done by TELKOM through
providing the customers with an initial oral or written warning if the customers
violate one or more stipulations in this contract agreement. The management of
National Consumer Protection Board is suggested to socialize the Consumer Dispute
Settlement Board (BPSK) as regulated in Article 34 of Law No.8/1999 on Consumer
Protection to the members of society or to make a special regulation concerning
BPSK in the use of telecommunication equipment service in the future. Hubungan antara PT.Telkom dengan pelanggan “TELKOMFlexi” Pasca
Bayar (Flexiclassy) terbentuk melalui sebuah perjanjian atau kontrak berlangganan
yang dibuat oleh PT. Telkom berupa kontrak berlangganan yang dibuat dalam bentuk
baku. Bentuk perjanjian semacam ini menimbulkan ketidakadilan bagi pelanggan,
karena semua isi perjanjian ditentukan oleh satu pihak saja yaitu PT. Telkom.
Keberadaan klausula eksonerasi dalam kontrak standar dinilai bertentangan dengan
asas itikad baik,karena pihak penyusun kontrak dapat memasukkan ketentuanketentuan
yang menguntungkan pihaknya untuk membatasi tanggung jawabnya,
apabila terjadi wanprestasi atau muncul masalah-masalah yang menimbulkan
kerugian baik salah satu pihak maupun kedua belah pihak, dengan cara mengalihkan
tanggung jawab atas masalah tersebut kepada pihak konsumen. Ada beberapa
permasalahan yang timbul dari hal tersebut, yakni antara lain: bagaimana penerapan
asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian Berlangganan Sambungan
Telekomunikasi “TELKOMFlexi”, bagaimana penerapan asas itikad baik dalam
pembuatan dan pelaksanaan perjanjian pada perjanjian berlangganan sambungan
telekomunikasi Telkom Flexi dengan Pelanggan, dan Bagaimana pertanggung
jawaban pelaku usaha jasa telekomunikasi “TELKOMFlexi” terhadap penerapan asas
itikad baik dengan adanya klausula baku.
Untuk menemukan jawaban dari permasalahan tersebut, maka penelitian ini
dilakukan bersifat deskriptif analitis, maksudnya adalah menguraikan atau
memaparkan sekaligus menganalisis tentang hak-hak konsumen atas pengguna jasa
berlangganan telekomunikasi “TELKOMFlexi” dilihat dari hukum positif secara
umum dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dan unsur-unsur keperdataan
serta akibat yang timbul apabila klausul baku yang dimuat dalam perjanjian
merugikan konsumen, maka jenis penelitian yang digunakan adalah metode yuridis
normatif yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat
dalam peraturan perundang-undangan. Penelitian yuridis normatif ini mengutamakan
penelitian kepustakaan (library research).
Dalam suatu perjanjian yang berlandaskan pada asas kebebasan berkontrak,
posisi tawar menawar para pihak adalah relatif seimbang. Sedangkan dalam
perjanjian baku, posisi tawar menawar para pihak tidak seimbang. Pada umumnya
posisi produsen lebih kuat dibanding konsumen, seperti halnya dalam Kontrak
Berlangganan Sambungan Telekomunikasi ”TELKOMFlexi”, isi perjanjian
ditetapkan oleh PT. Telkom selaku produsen. Konsumen tidak dapat menawar untuk
merubah isi kontrak. Konsumen hanya mempunyai pilihan untuk menerima isi
kontrak tersebut atau tidak menyetujui sama sekali. Dalam pembuatan suatu
perjanjian terdapat satu asas yang mengkehendaki agar suatu perjanjian dilaksanakan
dengan itikad baik sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. Asas itikad baik ini dapat dipakai dalam menilai sah tidaknya syarat
eksonerasi yang terdapat dalam perjanjian baku. Itikad Baik dan kepatutan dapat pula
merubah atau melengkapi perjanjian. Bahwa perjanjian itu tidak hanya ditentukan
oleh para pihak dalam perumusan perjanjian, tetapi juga ditentukan oleh itikad baik
dan kepatutan, jadi itikad baik dan kepatutan dapat pula menentukan isi perjanjian
itu.dalam prakteknya akibat adanya klausula baku yang memuat berbagai
pengecualian pelaku usaha dengan mudah mengelah dari tanggung jawabnya. Usaha
yang ditempuh konsumen terhadap tindakan sepihak pelaku usaha dengan adanya
klausul baku dalam perjanjian hanyalah dengan mengajukan komplain kepada
“TELKOMFlexi” sebagai penyedia jasa layanan guna memperoleh haknya sebagai
konsumen pengguna jasa layanan sedangkan penyelesain dengan menggunakan jalan
melalui pengadilan sampai saat ini tidak pernah dilakukan baik secara perorangan
maupun berkelompok.
Disarankan kepada pelaku usaha untuk berperan aktif menerangkan isi,
maksud dan tujuan dari perjanjian baku (Perjanjian Berlangganan Sambungan
Telekomunikasi “TELKOMFlexi”) agar setiap konsumen yang ingin berlangganan
dengan pelaku usaha benar-benar mengerti isi dari perjanjian tersebutt, untuk
menghindari adanya kesalahan dalam penafsiran dan pengertian Pasal 6 ayat (3)
perjanjian Berlangganan Sambungan Telekomunikasi ”TELKOMFlexi” hendaknya
diubah menjadi: ”pengenaan sanksi berupa pengisoliran dan Deaktifasi sambungan
telekomunikasi dapat dilakukan oleh TELKOM dengan terlebih dahulu memberikan
pemberitahuan atau peringatan secara tertulis dan atau lisan kepada Pelanggan
apabila Pelanggan melanggar salah satu atau lebih ketentuan kontrak ini dan kepada
Badan Perlindungan Konsumen Nasional disarankan agar mensosialisasikan kepada
masyarakat mengenai Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagaimana
diatur dalam Pasal 34 Undang-Undang Perlindungan Konsumen No 8 Tahun 1999
atau dimasa yang akan datang Badan Perlindungan Konsumen Nasional mengatur
secara khusus mengenai BPSK dalam penggunaan jasa alat telekomunikasi.
Collections
- Master Theses (Notary) [2280]