Pola Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Aceh Di Kabupaten Aceh Utara
View/ Open
Date
2016Author
Manfarisyah
Advisor(s)
Sitepu, Runtung
Suhaidi
Abbas, Syahrizal
Metadata
Show full item recordAbstract
Basically everyone wants to realize justice and peace in their lives. In the event of any dispute, In the event of any dispute, the resolution methods can be selected by the parties are the path of litigation and non-litigation. Litigation pathway is called Alternative Dispute Resolution (ADR). In fact, ADR has long been recognized and developed constantly in the lives of people in Indonesia, especially the people of Aceh. One pattern that is practiced Aceh community for resolving the disputes by using consensus through peace trial.The objective of this research are to find out the pattern of ADR implemented in the Aceh community of Aceh Utara Regency; factors that affect the success and failure of ADR be held by consensus in the Aceh community of Aceh Utara Regency; and the force of law in the Aceh peace ruling in North Aceh Regency.
This research was conducted by using the juridical research normative and empirical with specification of descriptive analytical. Normative juridical approach by reviewing the rules of law related to the topic of research to obtain secondary data; and juridical empirical approach to obtain primary data directly from respondents and informans.Technique of collecting data consists of literature study, field survey, and in-depth interview. The all of data were analyzed qualitatively and presented in a descriptive manner.
The results of research showed that the consensual dispute resolution through peace trial held by the Aceh community in Aceh Utara Regency consists of a gradual pattern (pattern indirectly) and direct pattern which its decision forms such as di'iet, sayam, suloh, peumat jaroue and peusijuek. The dispute resolution through the peace trial called peudamee di meunasah in the Acehnese language; The success and failure of dispute resolution through peace trial influenced by the internal factors are the competence of the leadership to organize the trial of peace, based on the high and low levels of authority, leadership experience, legal education, religion (Islam) and the level of understanding of adat, whereas the external factors are awareness law in community based on high and low level of knowledge of the law, religion (Islam), level of the community adherence to the leadership, and a good-faith of the parties to make peace; and the Decision of the peace has a strong legal force in the philosophically, sociologically, juridically, and morally. The ADR through the peace trial in Aceh community in North Aceh Regency is the main option, while the dispute resolution through litigation as a last option. Therefore, the Government of Aceh is expected to strengthen the village deliberative body by issued the special regulatory about institutions, and officer intensive training. Judge litigation was expected to take a peace decision of village and habitation as the basis for consideration in the dispute resolution process in the courts. Finally, the central government is expected to establish a legal basis to restrict the authority of judge’s litigation in resolving the disputes peacefully own decision. Pada dasarnya semua orang ingin mewujudkan keadilan dan kedamaian dalam kehidupannya. Apabila terjadi suatu sengketa, cara penyelesaian yang dapat dipilih para pihak adalah jalur litigasi dan nonlitigasi. Jalur nonlitigasi disebut juga alternatif penyelesaian sengketa (APS). Bahkan, APS sudah lama dikenal dan terus dikembangkan dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, khususnya masyarakat Aceh. Salah satu pola yang dipraktekkan masyarakat Aceh adalah penyelesaian sengketa secara musyawarah melalui sidang perdamaian.Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pola penyelesaian sengketa alternatif yang dilaksanakan pada masyarakat Aceh di Kabupaten Aceh Utara; faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan penyelesaian sengketa alternatif pada masyarakat Aceh di Kabupaten Aceh Utara; dan kekuatan hukum Hasil penyelesaian sengketa alternatif pada masyarakat Aceh di Kabupaten Aceh Utara.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Pendekatan yuridis normatif dengan cara mengkaji aturan perundang-undangan yang terkait dengan topik penelitian untuk memperoleh data sekunder; dan pendekatan yuridis empiris untuk mendapatkan data primer langsung dari responden dan informan.Teknis pengumpulan data terdiri dari kajian kepustakaan, survey lapangan, dan wawancara mendalam. Data hasil penelitian dianalisis secara kualitatif dan dipaparkan secara deskriptis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Penyelesaian sengketa secara musyawarah melalui sidang perdamaian yang dilaksanakan oleh masyarakat Aceh di Kabupaten Aceh Utara terdiri dari pola bertahap (pola tidak langsung) dan pola langsung, yang hasilnya ditetapkan dengan bentuk-bentuk di’iet, sayam, suloh, peumat jaroue dan peusijuek. Penyelesaian sengketa melalui sidang perdamaian dalam bahasa Aceh disebut dengan peudamee di meunasah; Keberhasilan dan kegagalan penyelesaian sengketa melalui sidang perdamaian dipengaruhi oleh faktor internal yaitu kompetensi pimpinan untuk menyelenggarakan sidang perdamaian, yang didasarkan pada tinggi rendahnya tingkat kewibawaan, pendidikan pimpinan, pendidikan hukum, agama (agama Islam) dan tingkat pemahaman adat istiadat, sedangkan faktor eksternal adalah kesadaran hukum masyarakat yang didasarkan pada tinggi rendahnya tingkat pengetahuan hukum, agama, tingkat kepatuhan masyarakat pada pimpinan, dan iktikat baik para pihak untuk mewujudkan perdamaian; dan Putusan perdamaian memiliki kekuatan hukum yang kuat secara filosofis, sosiologis, yuridis, maupun secara moral. Penyelesaian sengketa alternatif melalui sidang perdamaian pada masyaraka Aceh di Kabupaten Aceh Utara merupakan pilihan utama, sedangkan penyelesaian sengketa melalui litigasi sebagai pilihan terakhir. Karena itu, Pemerintah Aceh diharapkan dapat melakukan penguatan badan musyawarah gampong melalui regulasi dan pelatihan yang intensif. Hakim litigasi pun diharapkan dapat menjadikan putusan perdamaian gampong dan mukim sebagai dasar pertimbangan dalam proses penyelesaian sengketa di pengadilan. Akhirnya, Pemerintah Pusat diharapkan dapat menetapkan dasar hukum untuk membatasi kewenangan hakim litigasi dalam menyelesaikan sengketa yang sudah memiliki putusan damai.
Collections
- Master Theses [1793]