dc.contributor.advisor | Mazdalifah | |
dc.contributor.advisor | Nurbani | |
dc.contributor.author | Siregar, Ira Nurdewita | |
dc.date.accessioned | 2021-08-04T04:06:42Z | |
dc.date.available | 2021-08-04T04:06:42Z | |
dc.date.issued | 2021 | |
dc.identifier.uri | http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/39138 | |
dc.description.abstract | HIV (Human Immunodeficiency Virus), both at the national and international levels, has yet to find a cure for it. The existence of stigma and discrimination in people living with HIV is still often felt and experienced by people with HIV. This condition will certainly have an impact on the self-disclosure of people with HIV in disclosing or hiding their disease status to those around them. This study aims to describe and analyze how self-disclosure of women victims of HIV in conducting interpersonal communication with counselors, what topics are generally conveyed when self-disclosure and the reasons that make it easier and the reasons that prevent women victims of HIV from disclosing their condition to the counselor. The research was conducted at the Social Rehabilitation Center for People With HIV (BRSODHA) "BAHAGIA" Medan. This study uses a qualitative method with a constructivism approach. Research subjects in this study were 2 (two) HIV-positive women at BRSODH “Bahagia” Medan and 1 (one) triangulation informant, namely counselors at BRSODH “Bahagia” Medan. The data collection technique used in-depth interviews, while the theory used as a reference in this study was the theory of interpersonal communication, self-disclosure and social penetration theory. The research findings show that in self-disclosure interpersonal communication, women victims of HIV are open about the topic of their personal experiences, feelings and problems they face. The two informants admitted to telling the topic in depth but still filtering what was revealed. Topics that are covered widely but not deeply are topics of hopes and plans for the future. Both informants were afraid and ashamed to talk about the future because they were afraid to have expectations that did not match expectations. The two informants tended to be more comfortable doing self-disclosure with fellow ODH compared to the counselors because of the similarity in status. The topics were carried out for approximately 35 minutes to 1 hour per session. The duration that takes longer is a topic that discusses personal experiences, feelings and problems at hand. The obstacle in the counseling process revealed by one of the informants was that he felt hampered when there was a change of counselor | en_US |
dc.description.abstract | HIV (Human Immunodeficiency Virus) baik di tingkat nasional maupun pada tingkat internasional sampai saat ini belum ditemukan obat untuk menyembuhkannya. Adanya stigma dan diskriminasi pada orang dengan HIV masih sering dirasakan maupun dialami oleh penderita HIV. Kondisi tersebut tentunya akan berdampak pada keterbukaan diri orang dengan HIV dalam mengungkapkan atau menyembunyikan status penyakitnya kepada orang-orang yang ada disekitarnya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis bagaimana self disclosure perempuan korban HIV dalam melakukan komunikasi antarpribadi dengan konselor, topik apa saja yang umumnya disampaikan ketika melakukan pengungkapan diri dan alasan yang memudahkan serta alasan yang menghambat perempuan korban HIV dalam mengungkapkan kondisinya terhadap konselor. Penelitian ini dilakukan di Balai Rehabilitasi Sosial Orang Dengan HIV (BRSODHA) “BAHAGIA” Medan. Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan konstruktivisme. Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah 2 (dua) orang perempuan korban HIV di BRSODH “Bahagia” Medan dan 1 (satu) orang informan triangulasi yaitu konselor di BRSODH “Bahagia” Medan. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam, sedangkan teori yang dijadikan acuan dalam penelitian ini adalah teori Komunikasi Antarpribadi, Self Disclosure dan teori Penetrasi Sosial. Temuan penelitian menunjukkan bahwa dalam komunikasi interpersonal keterbukaan diri, perempuan korban HIV terbuka tentang topik pengalaman pribadi, perasaan dan masalah yang mereka hadapi. Kedua informan mengaku menceritakan topik tersebut secara mendalam namun tetap menyaring apa yang diungkapkan. Topik yang diceritakan secara luas namun tidak dalam ialah topik mengenai harapan dan rencana masa depan. Kedua informan merasa takut dan malu untuk bercerita tentang masa depan karena takut untuk berekspektasi yang akhirnya tidak sesuai dengan harapan. Kedua informan cenderung lebih nyaman melakukan self disclosure kepada sesama ODH dibandingkan dengan konselor karena adanya kesamaan status. Topik-topik yang dibahas dilakukan selama kurang lebih 35 menit sampai 1 jam setiap sesinya. Durasi yang memakan waktu lebih lama ialah topik yang membahas tentang pengalaman pribadi, perasaan dan masalah yang dihadapi. Hambatan proses konseling adalah terjadinya pergantian konselor. Perempuan korban HIV tidak merasa nyaman jika konselor berbeda gender dengan dirinya. | en_US |
dc.language.iso | id | en_US |
dc.publisher | Universitas Sumatera Utara | en_US |
dc.subject | Self-disclosure | en_US |
dc.subject | HIV victims | en_US |
dc.subject | counselors | en_US |
dc.subject | Perempuan korban HIV | en_US |
dc.subject | Konselor | en_US |
dc.title | Self Disclosure Perempuan Korban HIV dengan Konselor di Balai Rehabilitasi Sosial Orang dengan HIV (BRSODH) “Bahagia” Medan | en_US |
dc.type | Thesis | en_US |
dc.identifier.nim | NIM187045012 | |
dc.description.pages | 184 Halaman | en_US |
dc.description.type | Tesis Magister | en_US |