Show simple item record

dc.contributor.advisorSimanjuntak, Peninna
dc.contributor.authorSiallagan, Falendina Purnama Sari
dc.date.accessioned2021-08-09T07:20:45Z
dc.date.available2021-08-09T07:20:45Z
dc.date.issued2021
dc.identifier.urihttp://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/39707
dc.description.abstractMasyarakat Batak Toba sangat memegang teguh sistem adat melalui kekerabatan yang dijalin berdasarkan marga. Marga tersebut diambil dari keturunan si Raja Batak Sianjurmulamula. Berdasarkan genealogi tersebut terdapat marga parna yang salah satunya adalah Siallagan. Adapun permasalahan dalam skripsi ini yakni bagaimana hukum adat Batak Toba di Huta Siallagan, bagaimana pelaksanaannya, serta bagaimana dampaknya bagi Huta Siallagan itu sendiri. Skipsi ini menggunakan metode sejarah dimana dalam pengumpulan data mengenai narasi hukuman pancung di Huta Siallagan ini melalui dua metode yaitu pustaka dan wawancara. Kemudian diverifikasi sumber-sumbernya, lalu penulis analisis dan interpretasikan sehingga mendapatkan sebuah Historiografi atau penulisan sejarah yang kronologis. Susunan politik yang diterapkan di wilayah Toba juga memiliki tingkatan, dimulai dari yang tertinggi adalah Singamangaraja atau yang diakui oleh masyarakat Batak Toba adalah si Raja Batak. Kemudian dibantu oleh Pendeta Raja dan terbagi atas beberapa Bius (desa). Pada tingkatan ini terdapat sistem hukum Bius untuk mengatur kesenjangan antar masyarakat adat yang tersebar di beberapa Bius. Selanjutnya untuk mengatur ketentraman masyarakat adat yang terdiri dari berbagai macam marga Huta dibentuk sebagai lapisan terakhir penerapan hukum adat. Huta Siallagan yang dibentuk oleh Raja Laga Siallagan khusus untuk marga Siallagan serta keturunannya sangat dikenal dengan hukum adatnya yang sangat keras saat itu yaitu hukum pancung. Hukum pancung diberlakukan untuk mengatur ketentraman masyarakat serta mengurangi tindak kejahatan antar sesama warga. Hukum pancung ini diberlakukan pada tahun 1938 secara resmi oleh Raja Saga Siallagan dan berakhir tahun 1951. Berakhirnya penerapan hukuman pancung ini disebabkan oleh berlakunya hukum UUDS 1950 sehingga hukum adat harus menyesuaikan dengan hukum NKRI saat itu. Hukum adat hanya dapat dijadikan sebagai dasar dari hukum pidana yang akan ditetapkan untuk pelaku kejahatan.en_US
dc.language.isoiden_US
dc.publisherUniversitas Sumatera Utaraen_US
dc.subjectSiallaganen_US
dc.subjectHukum Adaten_US
dc.subjectSamosiren_US
dc.subjectTobaen_US
dc.titleHukum Adat Batak Toba di Huta Siallagan Kecamatan Samosir Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 1938-1951en_US
dc.typeThesisen_US
dc.identifier.nimNIM160706007
dc.description.pages87 Halamanen_US
dc.description.typeSkripsi Sarjanaen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record