Politik Identitas : Pemilihan Kepala Daerah Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara Tahun 2018
View/ Open
Date
2021Author
Syofian, Eddy
Advisor(s)
Subhilhar
Kusmanto, Heri
Amin, Muryanto
Metadata
Show full item recordAbstract
Penelitian ini dilatarbelakangi pada praktik politik pada kontestasi untuk memilih kepala daerah (pilkada) Provinsi Sumatera Utara 2018 berupa adanya politik identitas yang menimbulkan fragmentasi politik berbasiskan perbedaan kultural dan agama dalam praktik politik patronase, persaingan antar tim sukses dan penggunaan kampanye konvensional maupun dengan teknologi informasi seperti new media. Masalahnya hasil pilkada menunjukkan telah terjadinya fragmentasi politik secara berhadap-hadapan secara diametrikal antara keduabelah pihak yang sudah pasti berpotensi menimbulkan hubungan yang tidak harmonis. Penelitian ini mencoba untuk mengkontruksikan fenomena politik identitas yang menimbulkan fragmentasi politik pada kontestasi pilkada sumut tahun 2018 dengan pendekatan kualitatif dan metode observasi serta wawancara dengan informan kunci yang merupakan para calon yang ikut dalam pilkada dan para patron dalam Tim Sukses, juga termasuk para elite partai, serta informan tambahan para tokoh masyarakat, termasuk dari kalangan pemuda. Data sekunder digunakan untuk memperkaya informasi berupa upaya kajian kepustakaan dan dokumen. Setelah dilakukan analisis data secara triangulasi untuk menjelaskan makna makna yang meliputi para informan dan mengkontruksikannya dalam bentuk naratif dengan bantuan penjelasan teoritik yang relevan, maka didapati hasil kajian bahwa kemenangan pasangan Ermaas karena peran ulama, para relawan, dan tim suskes yang menggunakan politik identitas agama untuk meraih kemenangan, sementara pasangan Eramas tidak menggunakan politik identitas, karena mereka juga menggunakan kampanye dan interaksi dengan kelompok etnik dan agama lainnya di Sumatera Utara lainnya. Kejadian ini menjadi bagian fenomena populisme kanan yang melanda dunia sebagai wujud perlawanan terhadap era globalisasi dan era sentralisasi dalam hubungan pusat daerah di Indonesia masa Soeharto, seperti isu putra daerah dan etnisitas, serta pengaruh munculnya kasus penistaan agama oleh Ahok dan Pilkada DKI 2017.Politik identitas khususnya berdasarkan garis agama dan etnik yang menguat dalam berbagai Pilkada khususnya di Sumatera Utara tahun 2018 maupun tahun-tahun sebelumnya. Penelitian ini menumakan bahwa politik identitas dalam Pilkada Sumatera Utara memiliki ciri dan dinamika yang khas dimana pemilahan atau polarisasi etnik berdasar agama hanya berlangusng sesaat pada masa Pilkada Sumut. Usai pilkada, polarisasi etnik berdasar garis agama itu kemudian mencair disatukan oleh jaring kekerabatan etnik yang lintas agama. Oleh karena itu penelitian ini menemukan bahwa politik identitas dalam Pilkada Gubernur di Sumatera Utara merupakan kepentingan sesaat dan bukan merupakan ekspresi laten konflik identitas yang ada di dalam masyarakat. Ini yang membedakan politik identitas di Sumut dan di tempat lain. Oleh karena itu strategi penanganan konflik politik identitas pra dan pasca Pilkada, sebaiknya dilakukan dengan memperhatikan dinamika persilangan agama dan etnik yang ada di dalam masyarakat. Persilangan itu bersatu karena terikat dalam kekerabatan falsafah Dalihan Natolu yang lintas agama. Walaupun dalam setiap Pilkada selalu ada kelompok politik oppurtunis dan pragmatis yang memanfaatkan polarisasi sesaat ini untuk kepentingan politik sesaat dengan pendekatan janji politik. Tapi mereka ini akan tergulung habis usai pilkada karena karakteristik khas Sumatera Utara bukanlah polarisasi agama dan etnik tetapi selalu mencari rujukan persesuaian dan adaptasi lintas agama dan etnik.