Show simple item record

dc.contributor.authorPardosi, Jhonson
dc.date.accessioned2021-08-12T06:49:53Z
dc.date.available2021-08-12T06:49:53Z
dc.date.issued2002
dc.identifier.urihttp://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/39972
dc.description.abstractThis research is discussing the development of tourism industry on the basis of culture through traditional dances tortor and gondang sabangunan. Tortor and Gondang sabangunan are passed down through generations within its imprimaturs. Adat ni gondang is closely related to hasipelebeguan (the believe in goddess). The show of tortor and gondang sabangunan was once condemned by the church until it was changed to only an entertainment program. The process that changed its function from ritual to entertainment had been guite that the society did not recognize its existence any longer. In relation to the development of tourism in the regency of Toba Samosir, the local people of Huta Bolon Simanindo reemerged tortor and gondang sabangunan by co modifying it into art and cultural performance. Emerging cultural resource and the beauty of Toba Lake is one of the strategies in developing tourism industry. The basic theories used are the Functional Structural theory and Herskovits Preservation. In addition, approach to tourism such as COM modification, Community Based Resources Management or Community Management, and Tourism Based Community Development (TBCD) is used. The method of analyses is qualitative by the main data from the result of resource to the art performance tortor and gondang sabangunan in Huta Bolon Simanindo and also the condition of tourism in the regency of Toba Samosir. The main data is recorded in the tape recorder and video shooting. The secondary data are gained from sources such as books, pictures, documents, archives, that related with the tourism in Toba Lake and also the map of the research location. The document could be local regulation, programs, clipping, newspaper, and brochures. The form of Tortor performance shown in Huta Bolon Simanindo was held in an open stage in the old village of Huta Bolon. This performance was not as a sacral event though still followed the role of adat ni gondang. There are adat 11i gondang which were not held as of maniti ari and marlonggo raja hightlight, and the pargonsi charisma was not considered higher than before owing to the forming of them unity whom are collaborated. Despite at many changes, the performance still bounded in adat ni gondang; the number of gondang's sorts. The role is to ask the kind of gondang. The role move in tortor, the custom and instrument. All of performances are divided into two sections. The first section, still follow adat ni gondang but the value of sacredness has been lost. The kinds of gondang shown in the first section are: Gondang lae-lae, Gondang Mula-mula, Gondang Sahat Mangahat, Gondang Marsiolop-olopan, Gondang Si doliSi boru, Gondang Pangurason, and Gondang Si do-tio. The second performance has been intentionally created for the tourist. The kinds of gondang performance are: Gondang Pananti/Embas, Gondang Tungkot Tunggal Panaluan, and Gondang Sigalegale The result of research shows the change in function, from ritual function to economics. The creative local people as an artist tried to commodity the ceremony of inangalahat horbo into art performance as the effect of tourism activity. Specifically it has been done to ensure more interest, short and solid, full of variety, the origin i m i t a t i o n a n d c a n b e s h o w e d a t a n y t i m e a n d a l s o t h e p r i c e i s c h e a p . T h e commoditization is conformed by situation and condition of their life (the artist life), and the time limitation of tourist. The meaning of the art performance tortor in Huta Bolon Simanindo. Especially as realization of culture revitalization at tortor and gondang sabangunan at last. They left it because their believed hasipelebeguan with the Christian doctrin thet belief their society. Revitalization forward to culture preservation even though has been changed from the origin. The art performance has a specific meaning to Simanindo village, becoming the center of culture performance to wisman anda wisnu who come to regency Toba Samosir or to North Sumatera. Furthermore, the performance get contribute for actor as a piece to create the creativities of art, and also as a source income, and as a field of work for the local people. For general community that born and growth in the foreign country, art performance made in to introduce process and studied about culture in tortor and gondang sabangunan.en_US
dc.description.abstractPenelitian ini membahas pengembangan pariwisata budaya melalui pertunjukan tortor dan gondang sabangunan. Tortor dan gondang sabangunan merupakan warisan leluhur yang tidak dapat dipisahkan, selalu dilaksanakan seiring dengan aturan-aturan atau adat ni gondang yang mengikatnya. Adat ni gondang sangat erat hubungannya dengan kepercayaan hasipelebeguan. Oleh karena itu, pelaksanaan tortor dan gondang sabangunan pernah tidak diperbolehkan oleh aturan gereja dan kemudian diperbolehkan kembali tetapi sudah berubah fungsi menjadi alat hiburan. Perubahan fungsi dan acara ritual menjadi hiburan berlangsung dalam waktu yang cukup lama, sehingga masyarakat tidak lagi memahami hakikatnya. Sehubungan dengan pengembangan pariwisata di Kabupaten Toba Samosir, timbul keinginan dan masyarakat lokal Huta Bolon Simanindo untuk menghidupkan kembali tortor dan gondang sabangunan dengan mengkomodifikasi dalam Seni Pertunjukan sebagai atraksi budaya. Hal ini, merupakan strategi pengembangan pariwisata dengan memberdayakan sumber daya budaya dan keindahan alam Danau Toba. Landasan teori yang digunakan adalah teori Struktural Fungsional dan Teori Pelestarian Herskovits, ditambah lagi dengan beberapa pendekatan pariwisata, seperti Komodifikasi, Community Based Resource Management atau Community Management, dan Tourism-Based Community Development (TBCD). Metode yang digunakan adalah analisis kualitatif dengan data primer hasil pengamatan terhadap Seni Pertunjukan Tortor di Huta Bolon Simanindo dan kondisi kepariwisataan di Kabupaten Toba Samosir. Data primer direkam dalam tape recorder dan shooting Video dalam bentuk gambar. Data sekunder didapat dan berbagai sumber berupa buku-buku, foto-foto, dokumen-dokumen, dan arsip-arsip yang berhubungan dengan kepariwisataan di Toba Samosir, serta peta desa lokasi penelitian. Dokumen dapat berupa perda-perda, program-program, kliping surat kabar, dan brosur-brosur. Bentuk pertunjukan tortor di Huta Bolon Simanindo dilaksanakan pada panggung terbuka di dalam perkampungan tua Huta Bolon. Pertunjukan tidak sakral walaupun masih mengikuti aturan adat ni gondang. Ada adat ni gondang yang sudah tidak dilaksanakan seperti, maniti ari, martonggo raja, dan wibawa pargonsi tidak dianggap lebih tinggi karena mereka sudah menjadi satu tim yang saling kerjasama (kolaborasi). Walaupun sudah banyak mengalami perubahan, pertunjukan masih terikat adat ni gondang seperti, jumlah jenis gondang, aturan meminta jenis gondang, aturan gerak dalam tortor, pakaian dan peralatan. Secara keseluruhan pertunjukan dibagi dua sesi. Sesi pertama, masih mengikuti sebagian besar adat ni gondang tetapi nilai kesakralannya sudah dihilangkan. Jenis gondang yang disajikan pada sesi pertama adalah Gondang Lae-lae, Gondang Mula-mula, Gondang Sahat Mangaliat, Gondang Marsiolop-olopan, Gondang Si doli/Si boru, Gondang Pangurason, dan Gondang Si tiotio. Pertunjukan sesi kedua sudah dikemas sesuai tujuannya. Jenis gondang yang disajikan adalah Gondang Pananti/Embas, Gondang Tungkot Tunggal Panaluan, dan Gondang Si Gale-gale. Hasil penelitian menunjukkan terjadi perubahan fungsi, dari fungsi ritual mengarah ke fungsi ekonomi. Kreativitas masyarakat lokal sebagai seniman berusaha mengkomodifikasi upacara mangalahat horbo ke dalam seni pertunjukan sebagai akibat dari kegiatan pariwisata. Secara khusus komodifikasi dilakukan agar lebih menarik, singkat dan padat, penuh variasi, tiruan, dapat disajikan kapan saja, dan murah harganya. Komodifikasi disesuaikan dengan situasi dan kondisi kehidupan para seniman, serta keterbatasan waktu para wisatawan. Makna seni pertunjukan tortor di Huta Bolon Simanindo secara khusus merupakan sebagai wujud revitalisasi kebudayaan pada tortor dan gondang sabangunan yang belakangan ini mulai ditinggalkan masyarakat pendukungnya, akibat benturan antara kepercayaan hasipelebeguan dengan dogma Kristen yang dianut mayoritas masyarakatnya. Revitalisasi mengarah kepada pelestarian budaya, walaupun telah mengalami perubahan dari bentuk aslinya. Seni Pertunjukan mempunyai makna spesifik bagi desa Simanindo, menjadi pusat pertunjukan budaya bagi wisman maupun wisnu yang datang berkunjung ke kabupaten Toba Samosir atau ke Sumatera Utara. Selanjutnya, pertunjukan memberikan kontribusi bagi para seniman sebagai tempat menuangkan kreativitas seni, juga sebagai sumber penghasilan tambahan, sekaligus sebagai penampungan lapangan kerja masyarakat lokal. Bagi masyarakat umum, terutama masyarakat Batak Toba yang dilahirkan dan dibesarkan di perantauan, seni pertunjukan dijadikan sebagai proses pengenalan dan pembelajaran akan budaya terutama pada tortor dan gondang sabangunan.en_US
dc.language.isoiden_US
dc.publisherUniversitas Sumatera Utaraen_US
dc.subjectRevitalisasi Kebudayaan Batak Tobaen_US
dc.titleRevitalisasi Kebudayaan Batak Toba dalam Pengembangan Pariwisata di Kabupaten Toba - Samosir Studi Kasus Seni Pertunjukan Tortor dan Gondang Sabangunan di Huta Bolon Simanindoen_US
dc.identifier.nim0013026107
dc.description.pages5 Halamanen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record