Fenomena Diglosia dan Sikap Kebahasaan Penutur Bahasa Simalungun di Kota Pematangsiantar
View/ Open
Date
2009Author
Sigiro, Elisten Parulian
Advisor(s)
Saragih, Amrin
Setia, Eddy
Metadata
Show full item recordAbstract
The research of “Diglosia Phenomenon and Attitude of Simalungun Language
Speaker” was a sociolinguistic research using a quantitative method in collection
and analysis of data. This research data for each characteristic, related to diglosia
phenomenon and attitude of language, was counted in basis of frequency, percentage
and mean. The mean was calculated by using Likert scale or Likert technic.
The population of this research was ethnic group of Simalungun living in
capital town of district, i.e., Pematangsiantar city, precisely at sub district of Siantar
Barat, consisting of 60 respondents. In this research, it was only elements of sample,
rather than all element of population, to observe. This was largely due to the
linguistic behavior of respondents was assumed to be homogenous. Determination of
sample number in this research used the sampling quota technic.
The findings of research indicated that essentially the respondents were
multilinguists and speaking some language “freely”. There was a reason to support
it, that 60 respondents generally mastered (spoke) more than two languages in
addition to Simalungun dialect, Toba, Karo, and Indonesian languages.
Furthermore, the findings of this research included the use of language in
each domain indicating that the use of language in custom, family (consisting of
several interlocutors: a. relative interlocutor, father and mother, b. interlocutor of
husband and wife, and c. interlocutor of children), religious, neighbor, social,
terminal, transactional, and work domains, the diglosia has leaked out. However,
educational and government domains did not indicate a leaked diglosia. Meanwhile,
the preservation of language occurred in custom domain, in family domain with
interlocutor of relatives, father and mother; while if interlocutors of husband, wife, or
children the preservation of Simalungun language did not occur. In another
domains—religious domain the Simalungun language was preserved, in neighbor and
social domains if interlocutor of co-ethnic group the Simalungun language remained
to e intact, but if it was not co-ethnic group interlocutor, the preservation of
Simalungun language did not occur. Similarly, in terminal, transactional, work,
educational, and government domains, the use of Simalungun language was not
preserved.
In relation to language attitude of respondents, if language attitude of
respondents was reviewed in perspective of language option on the most used
language in daily life, the language assumed to more preference, and the more
familiar language, it then could be concluded that language attitude of respondents
on Simalungun language tended to be negative. Furthermore, the language attitude of
respondents on Simalungun language, in perspective of agreement and disagreement
indicators on questions asked, tended to be positive. Penelitian terhadap “Fenomena Diglosia dan Sikap Penutur Bahasa Simalungun” ini
merupakan penelitian sosiolinguistik yang menggunakan metode kuantitatif dalam
pemerolehan dan penganalisisan data. Data penelitian ini untuk setiap ciri
karakteristik, yang berkaitan dengan fenomena diglosia dan sikap bahasa, dihitung
berdasarkan frekuensi, persentase, dan angka rata-rata nilai (mean). Angka nilai rata-
rata dihitung dengan menggunakan skala Likert atau teknik Likert.
Populasi penelitian ini adalah suku Simalungun yang berdomisili di wilayah
ibu kota kabupaten, yakni kota Pematangsiantar, tepatnya di Kecamatan Siantar
Barat, yakni sebanyak 60 responden, dalam penelitian ini, yang diteliti hanya elemen
sampel bukan seluruh elemen populasi. Hal itu karena prilaku linguistik para
responden dianggap homogen. Penentuan jumlah sampel dalam penelitian ini
menggunakan teknik quota sampel.
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa para responden pada dasarnya
multibahasawan dan menggunakan beberapa bahasa secara “bebas“. Dikatakan
demikian, karena dari 60 responden pada umumnya menguasai lebih dari dua bahasa
di luar bahasa Simalungun, yakni bahasa Toba, Karo, dan Indonesia.
Selanjutnya, temuan penelitian menyangkut penggunaan bahasa pada setiap
ranah menunjukkan bahwa penggunaan bahasa pada ranah adat, ranah keluarga
(terdiri atas beberapa interlokutor, yakni a. interlokutor saudara, ayah, dan ibu, b.
interlokutor suami atau istri, dan c. interlokutor anak), ranah agama, ranah tetangga,
ranah pergaulan, ranah terminal, ranah transaksi, ranah pekerjaan diglosia telah
bocor. Akan tetapi, ranah pendidikan dan ranah pemerintahan menunjukkan bahwa
diglosia tidak bocor. Sementara itu, pemertahanan bahasa terlaksana pada ranah adat,
pada ranah keluarga dengan interlokutor Saudara, Ayah, dan Ibu sedangkan jika
interlokutor Suami, Istri, maupun Anak pemertahanan bahasa Simalungun tidak
terlaksana. Pada ranah selanjutnya, yakni ranah agama bahasa Simalungun bertahan,
pada ranah tetangga, ranah pergaulan jika interlokutor orang yang sesuku bahasa
Simalungun masih bertahan, tetapi jika interlokutor orang yang tidak sesuku,
pemertahanan bahasa Simalungun tidak terlaksana. Demikian juga pada ranah
terminal, ranah transaksi, ranah pekerjaan, ranah pendidikan, dan ranah pemerintahan
penggunaan bahasa Simalungun tidak bertahan.
Sehubungan dengan sikap bahasa responden, jika sikap bahasa responden
ditinjau berdasarkan pilihan bahasa terhadap bahasa yang paling sering digunakan
dalam keseharian, bahasa yang dianggap terasa lebih indah, dan bahasa yang
dianggap terasa lebih akrab dapat disimpulkan bahwa sikap bahasa responden
terhadap bahasa Simalungun cenderung negatif. Selanjutnya, sikap bahasa responden
terhadap bahasa Simalungun, berdasarkan indikator kesetujuan dan ketidak
setujuannya atas pertanyaan yang diajukan adalah cenderung positif.