dc.contributor.advisor | Mulyadi, Mahmud | |
dc.contributor.advisor | M. Hamdan | |
dc.contributor.advisor | Purba, Hasim | |
dc.contributor.author | Sandri, Bobbi | |
dc.date.accessioned | 2018-02-13T03:18:07Z | |
dc.date.available | 2018-02-13T03:18:07Z | |
dc.date.issued | 2015 | |
dc.identifier.uri | http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/419 | |
dc.description.abstract | Regulation on additional punishment is found in some other laws. The Penal Code itself does not limit additional punishment to the three types above. Law No. 31/1999 on the Corruption Criminal Act (Law on Corruption), for example, also regulates other additional punishments such as compensation for the object being corrupted; in this law, the additional punishment is indemnification. The exception of this principle is also found in some regulations in the Penal Code. Article 38, paragraph 5 of Law on Corruption states that when a defendant dies prior to the verdict and it is evidence that he has done corruption criminal act, the judge, by the prosecutor’s indictment, orders to confiscate the defendant’s objects.
The research used empirical judicial normative method. Judicial normative research is a scientific procedure which is aimed to find the truth, based on judicial scientific logic from its normative viewpoint by conducting interviews.
The result of the research showed that the legal basis for imposing corporal punishment is found in Article 10 of the Penal Code. Judge’s consideration in imposing corporal punishment as the compensation for paying indemnity has two reasons: judicial reason and non-judicial reason as stipulated in the Penal Code. When a defendant in the corruption case dies before the alternative punishment is implemented, it is regulated in Law No. 31/1999 in conjunction with Law No. 20/2001 on the return of the assets obtained from corruption criminal act through civil procedure and through criminal procedure.
It is recommended that law enforcement, in this instance, the prosecutor and the judge, should sue and decide to punish the perpetrators in corruption criminal act by additional punishment by returning the assets to the State. More specific regulation should be implemented on returning the State’s assets in corruption case when the defendant dies prior to the corporal punishment as the compensation in the judge’s verdict which is final and binding. More detailed regulation should be carried out in the criminal law and law on corruption which regulate criminal responsibility when a defendant dies prior to the corporal punishment as the compensation. | en_US |
dc.description.abstract | Pengaturan mengenai hukuman tambahan juga terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan lainnya, KUHP sendiri memang tidak membatasi bahwa hukuman tambahan tersebut terbatas pada 3 bentuk di atas saja. Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang Korupsi) misalnya, diatur juga mengenai hukuman tambahan lainnya selain dari 3 bentuk tersebut, seperti misalnya pembayaran uang pengganti yang besarnya sama dengan harta benda yang dikorupsi. Dalam Undang-Undang tersebut ditambahkan hukuman tambahan berupa pembayaran ganti rugi. Pengecualian atas prinsip tersebut juga terdapat dalam beberapa aturan di luar KUHP. Dalam Undang-Undang Korupsi di Pasal 38 ayat 5 dikatakan bahwa dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah di sita.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif yang di dukung secara empiris. Metode penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya yang dibantu dengan wawancara.
Hasil penelitian dapat diketahui, Dasar hukum penjatuhan hukuman badan terdapat dalam Pasal 10 KUHP, Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan hukuman badan sebagai pengganti dalam pembayaran uang pengganti mengandung 2 (dua) pertimbangan yaitu pertimbangan yuridis dan pertimbangan non yuridis sebagai disebutkan dalam KUHAP dan Penerapan hukum apabila terpidana meninggal dunia sebelum hukuman pengganti di Jalankan dalam kasus korupsi diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 diatur mengenai pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi baik melalui jalur keperdataan (civil procedure) berupa gugatan perdata maupun jalur kepidanaan (criminal procedure).
Disarankan, adanya penegak hukum dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum dan Hakim dalam membuat tuntutannya supaya menuntut dan memutus para pelaku tindak pidana korupsi dengan pidana tambahan yaitu pengambalian aset kerugian negara, adanya pengaturan yang lebih khusus terhadap pengembalian aset negara dalam kasus korupsi jika terdakwa meninggal dunia sebelum menjalankan hukum badan sebagai hukuman pengganti pembayaran pada putusan Hakim yang sudah mempunyai hukum tetap, dan adanya pengaturan yang lebih terperinci dalam hal hukum pidana dan undang-undang tindak pidana korupsi yang mengatur tentang pertanggungjawaban pidana jika terdakwa meninggal dunia sebelum menjalankan hukuman pengganti pembayaran dijalankan | en_US |
dc.language.iso | id | en_US |
dc.subject | Corporal Punishment | en_US |
dc.subject | Compensation | en_US |
dc.subject | Corruption Case | en_US |
dc.title | Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Hakim Dalam Penjatuhan Hukuman Badan Sebagai Pengganti Dalam Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi) | en_US |
dc.type | Thesis | en_US |
dc.identifier.nim | NIM137005088 | en_US |
dc.identifier.submitter | Franz | |
dc.description.type | Tesis Magister | en_US |