Kesantunan Linguistik dalam Ranah Sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara
View/ Open
Date
2009Author
Murni, Sri Minda
Advisor(s)
Siregar, Bahren Umar
Sibarani, Robert
Sinar, T. Silvana
Metadata
Show full item recordAbstract
The dissertation deals with a study on the realization of linguistic politeness in parliament meeting in North Sumatera Province. The Parliament and the executives are bound in a partnership type of relation which implies equality. On the other hand, one of the function of the Parliament to control the government (the executive). It is assumed that linguistic politeness strategies used by members of the parliament in the parliament meeting is influenced by the tug-of-war between the collaborative aspect of partnership and the distance or competitive aspect of control. The aim of the research is to elaborate: a) the realization of linguistic politeness in requesting for information; b) the realization of linguistic politeness in expressing disagreement, and c) the politic behavior and the polite behavior in the parliament meeting. Watts’ (2003) approach was used as the main reference of the research. His theory introduces the recognition of politic behavior and polite behavior. Politic behavior is the normative behavior while polite behavior is a surplus behavior. The research was conducted under qualitative method. Data were collected under passive participatory-observation technique, documentation, and recording technique. The results show firstly, in both speech act requesting for information and expressing disagreement, mood, pronoun, politeness markers, hedges, committers, and downtoner were used by the members. Secondly, the realization of politic behavior are the use of: a) interrogative and imperative moods in requesting for information and the use of declarative mood for expressing disagreement; b) pronoun in which the in-group is distinguished from the out-group; c)politeness markers, and d) committers. Thirdly, the realization of polite behavior are the use of: a) declarative mood in requesting for information and the interrogative and imperative moods in expressing disagreement; b) pronoun in which the ingroup and the outgroup are seen as a unity; c) hedges; and d) downtoner. Disertasi ini berkenaan dengan kajian realisasi kesantunan linguistik dalam ranah sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara (DPRD Prov-SU). Kedudukan DPRD sebagai mitra eksekutif dan fungsi DPRD mengawasi jalannya pembangunan diyakini memberikan kontribusi penting terhadap jenis realisasi kesantunan linguistik di rapat DPRD Prov-SU. Oleh karena itu penggunaan kesantunan linguistik di rapat (DPRD Prov-SU) diasumsikan sebagai hasil tarik menarik antara aspek kolaboratif kemitraan dan aspek distansi/kompetitif pengawasan yang mempersyaratkan sikap kritis, adil, profesional, dan proporsional yang diamanatkan kode etik DPRD Tujuan penelitian ini adalah memerikan a) realisasi kesantunan linguistik dalam tindak tutur meminta penjelasan; b) realisasi kesantunan linguistik dalam memberikan pendapat, dan c) menerangkan perilaku normatif dan perilaku santun di rapat DPRD Prov-SU. Teori utama yang digunakan adalah teori kesantunan linguistik kontemporer yang diperkenalkan Watts (2003). Ia menyatakan bahwa penelitian kesantunan linguistik pada masyarakat praktisi tertentu harus didahului oleh kajian mengenai perilaku berbahasa normatif (politic behavior) yang bersifat lazim dan berterima di dalam masyarakat tersebut. Menurutnya, perilaku santun (polite behavior) yang merupakan tingkah laku berbahasa yang bersifat surplus dari tingkah laku yang lazim tersebut dapat dirumuskan manakala rumusan perilaku normatif sudah ditemukan. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif. Data dikumpulkan dengan teknik observasi partisipatoris yang bersifat pasif, teknik dokumentasi, dan teknik rekam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, dua tindak tutur yakni tindak tutur meminta penjelasan dan memberikan pendapat direalisasi melalui modus, pronomina, pemarkah kesantunan, kata berpagar (hedges), perujuk diri (committers), dan penurun (downtoner). Kedua, perilaku normatif di rapat DPRD Prov-SU direalisasikan melalui: 1) modus interogatif dan imperatif dalam tindak tutur meminta penjelasan dan modus deklaratif dalam tindak tutur memberikan pendapat; 2) pronomina yang mempertahankan kelompok dalam (in-group) terpisah dari kelompok luar (out-group); 3) pemarkah kesantunan; dan 4) perujuk diri (committers). Ketiga, perilaku santun di rapat DPRD Prov-SU direalisasikan melalui: a) modus deklaratif dalam meminta penjelasan dan modus interogatif dan imperatif dalam memberikan pendapat; b) pronomina yang menggabungkan kelompok dalam (ingroup) dengan kelompok luar (outgroup); c) kata berpagar (hedges); dan d) penurun (downtoner).