Perbandingan Efikasi Antimalaria Ekstrak Herba Sambilot (Andrographis Paniculata Nees) Tunggal dan Kombinasi Masing-Masing dengan Artesunat dan Klorokuin pada Pasien Malaria Falsiparum Tanpa Komplikasi
View/ Open
Date
2009Author
Zein, Umar
Advisor(s)
Nelwan, RHH
Mubin, Halim
Hadisahputra, Sumadio
Metadata
Show full item recordAbstract
Background: The increase of Plasmodium falciparum resistance to antimalarial drugs
compelled us to look for alternative treatment that may be locally available in Indonesia
and could posses an antimalarial action and eventually be developed later on. The
sambiloto (Andrographis paniculata Nees) is one of the herbals that could be found in
all parts of Indonesia. This herbal has been used for infectious diseases in Asia for
centuries.
Materials and Methods: An in vitro study was conducted using the Plasmodium
falciparum Papua strain culture at Biomedi cal Laboratory, Faculty of Medicine,
Brawijaya University, Malang with trial drugs like chloroquin, artemisinin, sambiloto
extract, and combination of sambiloto extract with either chloroquin or artemisinin. A
clinical study was also conducted in Mandailing Natal District of North Sumatera
Province in randomized, double-blind controlled manner with four groups of treatment
regimens in adult falciparum malarial patients without complications. Patients were
administered the extract of herbal sambiloto 250 mg (n = 40) or 500 mg (n = 38)
monotherapy thrice daily for five days or in combination of sambiloto extract 250 mg
with either chloroquin 1.000 mg on day 1 and day 2 and 500 mg on day 3 (n = 37) or
artesunate 200 mg daily for three days (n = 40). We also monitored the adverse effects,
hematology and blood chemistry and plasma levels of TNF-α and IFN- γ to assess the
immunomodulatory actions.
Results: In vitro study of chloroquin showed that the killing effect of parasite by its
”crisis form” in culture cells occurred after 48 hour in a dosage of 0.5 ug/ml. In the
sambiloto group the killing effect was seen at a higher dosage (1 ug/ml). The
combination of sambiloto and artemisinin has also the killing effect in a dosage of 0.5
ug/ml. The antimalarial efficacy of sambiloto 250 mg or 500 mg, respectively, and the
combination of sambiloto 250 mg and chloroquin or artesunate were 90.9%, 90.5%,
90.2% and 95.2%, respectively (p>0.3). The plasma level of TNF-α increased on day 7
with sambiloto 500 mg (p<0.05). Sambiloto extract for five days had no adverse effects
on liver and kidney functions and on hematological post treatment effect as well
(p>0.3).
Conclusions: Sambiloto extract has an antimalarial effect in in vitro and in vivo studies.
The efficacy of sambiloto extract 250 mg and 500 mg was equivalent. The combination
of sambiloto and artesunate showed the highest efficacy. Sambiloto extract 500 mg had
an immunomodulatory action. Latar Belakang: Meningkatnya resistensi Plasmodium falciparum terhadap obat
antimalaria membutuhkan jenis obat lokal yang terdapat di Indonesia yang mempunyai
potensi sebagai antimalaria yang dapat dikembangkan. Herba Sambiloto (Andrographis
paniculata Nees) adalah salah satu dari tanaman obat yang terdapat hampir di seluruh
daerah Indonesia. Jenis herbal ini telah digunakan selama beberapa abad untuk berbagai
penyakit infeksi di Asia.
Bahan dan Cara: Penelitian in vitro telah dilakukan dengan menggunakan kultur
Plasmodium falciparum strain Papua di Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya, Malang dengan obat uji klorokuin, artemisinin, ekstrak
sambiloto, dan kombinasi ekstrak sambiloto masing-masing dengan klorokuin dan
artemisinin. Penelitian klinis juga dilakukan di Kabupaten Mandailing Natal Provinsi
Sumatera Utara dengan metode randomized, double-blind control dengan empat
kelompok pengobatan terhadap pasien malaria falsiparum dewasa tanpa komplikasi.
Kepada pasien diberikan pengobatan dengan ekstrak sambiloto tunggal 250 mg (n = 40)
dan sambiloto 500 mg (n = 38) tiga kali sehari selama lima hari serta kombinasi
sambiloto 250 mg masing-masing dengan klorokuin 1000 mg hari I dan II dan 500 mg
hari III (n = 37) dan artesunat 200 mg perhari selama 3 hari (n = 40). Diamati
penurunan parasitemia mulai hari pertama sampai ke tujuh, kemudian hari ke 14, 21,
dan 28. Juga dimonitor efek samping obat, pemeriksaan darah rutin dan kimia darah
sebelum dan sesudah pengobatan serta pemeriksaan kadar TNF-α dan IFN-γ untuk
menilai efek imunomudulasinya.
Hasil: Secara in-vitro efikasi klorokuin dengan efek membunuh parasitnya sudah
terlihat pada sel kultur berupa ”crisis form”, yaitu pecahnya sitoplasma Plasmodium
falciparum setelah 48 jam pada dosis 0,5 ug/ml, sementara pada kelompok sambiloto,
efek membunuhnya baru terlihat pada dosis yang lebih besar (1 ug/ml). Kombinasi
sambiloto dengan klorokuin maupun artemisinin, efek membunuhnya tetap terlihat
pada dosis 0,5 ug/ml. Efikasi antimalaria sambiloto tunggal 250 mg, 500 mg, kombinasi
sambiloto 250 mg masing-masing dengan klorokuin dan artesunat adalah 90,9%,
90,5%, 90,2% dan 95,2% (p>0,3). Kadar TNF-α plasma meningkat pada hari ke 7
pengobatan dengan sambiloto 500 mg (p<0,05). Pemberian sambiloto selama lima hari
tidak menimbulkan efek samping, fungsi hati dan ginjal serta komponen hematologi lain
dalam batas normal pada hari ketujuh (p>0,3).
Kesimpulan: Penelitian in vitro dan in vivo membuktikan bahwa ekstrak sambiloto
mempunyai efek antimalaria. Efikasi ekstrak sambiloto 250 mg dan 500 mg adalah
sama. Kombinasi sambiloto dengan artesunat menunjukkan efikasi paling tinggi.
Ekstrak sambiloto 500 mg mempunyai efek imunomodulasi.
Collections
- Doctoral Dissertations [179]