• Login
    View Item 
    •   USU-IR Home
    • Faculty of Cultural Sciences
    • Department of Japanese Literature
    • Undergraduate Theses
    • View Item
    •   USU-IR Home
    • Faculty of Cultural Sciences
    • Department of Japanese Literature
    • Undergraduate Theses
    • View Item
    JavaScript is disabled for your browser. Some features of this site may not work without it.

    Shoushika (Penurunan Jumlah Bayi) di Jepang

    Nihon Ni Okeru Shoushika

    View/Open
    Full text (1.819Mb)
    Date
    2017
    Author
    Sinaga, Margaretta
    Advisor(s)
    Situmorang, Hamzon
    S, Nandi
    Metadata
    Show full item record
    Abstract
    Perkembangan teknnologi dan kemajuan ekonomi tidak selamanya diiringi oleh kesejahteraan kehidupan masyarakatnya. Jepang merupakan negara dengan teknologi yang berkembang pesat dan ekonomi yang baik, kini sedang dihadapkan dengan permasalahan penduduk. Masalah yang dihadapi adalah fenomena menurunnya tingkat kelahiran, atau yang lazim dikenal dengan istilah shoushika. Shoushika telah berlangsung selama puluhan tahun, sejak awal terdeteksinya pada tahun 1975. Permasalahan ini apabila dibiarkan saja akan membawa dampak yang lebih buruk lagi pada berbagai aspek. Sebagai contoh, Jepang akan kekurangan generasi penerus karena jumlah kelahiran terus menurun dari tahun ke tahun. Di saat generasi saat ini memasuki usia lanjut dan tidak lagi bisa bekerja, maka yang akan menopang hidup para lansia adalah pajak yang dibayarkan oleh generasi angkatan kerja atau generasi produktif. Apabila jumlah generasi produktif terus menurun, maka besaran pajak yang harus dibayarkan akan menjadi semakin mahal. Jadi, semakin menurun jumlah generasi produktif, semakin tinggi besaran pajak yang harus dibayarkan. Hal ini akan berpengaruh pada kondisi ekonomi negara secara keseluruhan serta kemajuan pendidikan akan mendorong majunya teknologi, mengubah pola kehidupan masyarakat, serta memperbaiki perekonomian negara secara keseluruhan. Seiring berjalannya waktu didukung oleh perubahan kebijakan, pola pikir manusia pun ikut berubah. Dahulu, orang menikah karena terpaksa oleh adanya sistem perjodohan. Kini, orang-orang dapat menentukan pilihannya sendiri mengenai bagaimana menemukan pasangan, apakah akan menikah, di usia berapa ia akan menikah, dan kemudian apakah ingin memiliki anak. Wanita yang dulunya hanya diijinkan melakukan pekerjaan di rumah, kini telah semakin banyak yang berkarier di perusahaan dan perkantoran. Keinginan menikah pun ditunda karena mengejar kepuasan karier terlebih dahulu, sembari mencari dan menunggu jodoh yang dianggap paling sesuai. Kegiatan mengasuh anak dari dulu diutamakan kepada ibu. Namun, ibu-ibu waktu dulu hanya berkegiatan di dalam rumah. Bagi wanita-wanita karier masa kini, mengurus anak merupakan hal yang sulit apabila dilakukan seorang diri. Maka dari itu, ia membutuhkan pasangan hidup yang kooperatif, dan untuk mendapatkannya bukanlah hal mudah. Akhirnya, terjadilah penundaan pernikahan yang menyebabkan semakin menurunnya jumlah kelahiran. Tidak seperti wanita-wanita di negara berkembang, misalnya Indonesia, yang menargetkan menikah pada rentang usia 19-24 tahun, wanita-wanita di Jepang memiliki impian untuk menikah pada kisaran usia 30 tahun. Mereka menjadikan karier sebagai alasan untuk menunda pernikahan. Padahal, semakin tinggi usia seorang wanita pada saat menikah, semakin beresiko untuk tidak memiliki anak. Bagi wanita Jepang, apabila telah memasuki kehidupan rumah tangga, melanjutkan kariernya akan menjadi tidak semudah sebelum menikah. Banyak hal baru yang harus dibiasakan setelah menikah, membuat wanita Jepang sering berpikir berkali-kali untuk memutuskan akan menikah di usia berapa. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah baik nasional maupun daerah, didukung oleh berbagai perusahaan, gencar melakukan berbagai upaya, di antaranya menerapkan sistem bonus meningkat untuk kelahiran anak kedua, ketiga, dan seterusnya, mengadakan kegiatan perjodohan, melarang aborsi, mendukung kelahiran di luar ikatan nikah, mengadopsi sistem baby hatches, membuat buku pegangan kehamilan, dan mencanangkan program Ikumen Project. Kegiatan perjodohan memudahkan mereka yang kesulitan menemukan sekedar teman kencan maupun pasangan hidup. Larangan aborsi dikuatkan dengan adanya dukungan dari pemerintah untuk tetap menjaga kandungan hingga lahir sang bayi, walaupun anak itu terlahir dari hubungan di luar ikatan pernikahan. Untuk memfasilitasi bayi-bayi yang tidak dikehendaki orang tuanya tersebut, pemerintah daerah Kumamoto melalui RS Jikei juga menerapkan sistem baby hatches yang memungkinkan bayi-bayi kurang beruntung untuk mendapatkan perawatan dari dokter di rumah sakit tertentu. Kepada generasi muda, pemerintah juga menyiapkan buku pegangan kehamilan sebagai pengetahuan dan panduan mengenai reproduksi. Namun sayangnya, program ini telah ditentang oleh sebagian masyarakat sehingga tidak dapat dilaksanakan. Beberapa pemerintah daerah memiliki cara lain untuk mengendalikan shoushika, yakni dengan mencanangkan Ikumen Project. Ini merupakan bentuk partisipasi dan tanggung jawab pria terhadap istrinya dalam mengasuh anak. Partisipasi para pria dalam mengasuh anak akan memperingan beban sang istri sekaligus menghapus kesan bahwa anak merupakan tanggung jawab istri, sementara suami cukup bekerja saja. Saat ini, sudah terlihat semakin banyak pria yang berpartisipasi dalam Ikumen Project ini. Tidak hanya pemerintah, perusahaan dan perkantoran di Jepang juga turut berkontribusi dalam pemecahan masalah shoushika. Saat ini telah semakin bertambah jumlah perusahaan yang memberikan fasilitas nursery untuk para karyawan, meskipun belum terlalu banyak. Selain itu, perusahaan-perusahaan juga memberikan kemudahan bagi para karyawan pria yang telah memiliki anak untuk mengambil cuti dalam rangka mengasuh anak. Ada pula perusahaan yang memberlakukan pemangkasan jam kerja dan perbedaan waktu kerja. Karyawan diperkenankan untuk datang terlambat dan pulang lebih awal apabila telah memiliki anak. Hal-hal seperti inilah, yang disebut sebagai toleransi, yang dibutuhkan oleh Jepang dalam menuntaskan masalah shoushika. Masyarakat Jepang, terutama wanita yang masih memiliki ketakutan akan beban mengasuh anak yang dipikul sendiri, akan lebih merasa nyaman apabila lingkungan sekitarnya mau memberikan kemudahan-kemudahan seperti itu. Menikah dan memiliki anak tidak lagi menjadi sesuatu yang harus ditakuti oleh wanita, terutama yang belum menikah. Dengan demikian diharapkan wanita Jepang tidak perlu menunggu hingga usia 30 tahun untuk menikah, sehingga kemungkinan untuk memiliki lebih banyak anak masih terbuka sebelum memasuki usia resiko mengandung.
    URI
    http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/4398
    Collections
    • Undergraduate Theses [562]

    Repositori Institusi Universitas Sumatera Utara - 2025

    Universitas Sumatera Utara

    Perpustakaan

    Resource Guide

    Katalog Perpustakaan

    Journal Elektronik Berlangganan

    Buku Elektronik Berlangganan

    DSpace software copyright © 2002-2016  DuraSpace
    Contact Us | Send Feedback
    Theme by 
    Atmire NV
     

     

    Browse

    All of USU-IRCommunities & CollectionsBy Issue DateTitlesAuthorsAdvisorsKeywordsTypesBy Submit DateThis CollectionBy Issue DateTitlesAuthorsAdvisorsKeywordsTypesBy Submit Date

    My Account

    LoginRegister

    Repositori Institusi Universitas Sumatera Utara - 2025

    Universitas Sumatera Utara

    Perpustakaan

    Resource Guide

    Katalog Perpustakaan

    Journal Elektronik Berlangganan

    Buku Elektronik Berlangganan

    DSpace software copyright © 2002-2016  DuraSpace
    Contact Us | Send Feedback
    Theme by 
    Atmire NV