dc.description.abstract | Perkembangan teknnologi dan kemajuan ekonomi tidak selamanya
diiringi oleh kesejahteraan kehidupan masyarakatnya. Jepang merupakan
negara dengan teknologi yang berkembang pesat dan ekonomi yang baik, kini
sedang dihadapkan dengan permasalahan penduduk. Masalah yang dihadapi
adalah fenomena menurunnya tingkat kelahiran, atau yang lazim dikenal
dengan istilah shoushika. Shoushika telah berlangsung selama puluhan tahun,
sejak awal terdeteksinya pada tahun 1975. Permasalahan ini apabila dibiarkan
saja akan membawa dampak yang lebih buruk lagi pada berbagai aspek.
Sebagai contoh, Jepang akan kekurangan generasi penerus karena jumlah
kelahiran terus menurun dari tahun ke tahun.
Di saat generasi saat ini memasuki usia lanjut dan tidak lagi bisa
bekerja, maka yang akan menopang hidup para lansia adalah pajak yang
dibayarkan oleh generasi angkatan kerja atau generasi produktif. Apabila
jumlah generasi produktif terus menurun, maka besaran pajak yang harus
dibayarkan akan menjadi semakin mahal. Jadi, semakin menurun jumlah
generasi produktif, semakin tinggi besaran pajak yang harus dibayarkan. Hal ini
akan berpengaruh pada kondisi ekonomi negara secara keseluruhan serta
kemajuan pendidikan akan mendorong majunya teknologi, mengubah pola
kehidupan masyarakat, serta memperbaiki perekonomian negara secara
keseluruhan.
Seiring berjalannya waktu didukung oleh perubahan kebijakan, pola
pikir manusia pun ikut berubah. Dahulu, orang menikah karena terpaksa oleh
adanya sistem perjodohan. Kini, orang-orang dapat menentukan pilihannya
sendiri mengenai bagaimana menemukan pasangan, apakah akan menikah, di
usia berapa ia akan menikah, dan kemudian apakah ingin memiliki anak.
Wanita yang dulunya hanya diijinkan melakukan pekerjaan di rumah,
kini telah semakin banyak yang berkarier di perusahaan dan perkantoran.
Keinginan menikah pun ditunda karena mengejar kepuasan karier terlebih
dahulu, sembari mencari dan menunggu jodoh yang dianggap paling sesuai.
Kegiatan mengasuh anak dari dulu diutamakan kepada ibu. Namun, ibu-ibu
waktu dulu hanya berkegiatan di dalam rumah. Bagi wanita-wanita karier masa kini, mengurus anak merupakan hal yang sulit apabila dilakukan seorang diri.
Maka dari itu, ia membutuhkan pasangan hidup yang kooperatif, dan untuk
mendapatkannya bukanlah hal mudah. Akhirnya, terjadilah penundaan
pernikahan yang menyebabkan semakin menurunnya jumlah kelahiran.
Tidak seperti wanita-wanita di negara berkembang, misalnya Indonesia,
yang menargetkan menikah pada rentang usia 19-24 tahun, wanita-wanita di
Jepang memiliki impian untuk menikah pada kisaran usia 30 tahun. Mereka
menjadikan karier sebagai alasan untuk menunda pernikahan. Padahal, semakin
tinggi usia seorang wanita pada saat menikah, semakin beresiko untuk tidak
memiliki anak. Bagi wanita Jepang, apabila telah memasuki kehidupan rumah
tangga, melanjutkan kariernya akan menjadi tidak semudah sebelum menikah.
Banyak hal baru yang harus dibiasakan setelah menikah, membuat wanita
Jepang sering berpikir berkali-kali untuk memutuskan akan menikah di usia
berapa.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah baik nasional
maupun daerah, didukung oleh berbagai perusahaan, gencar melakukan
berbagai upaya, di antaranya menerapkan sistem bonus meningkat untuk
kelahiran anak kedua, ketiga, dan seterusnya, mengadakan kegiatan perjodohan,
melarang aborsi, mendukung kelahiran di luar ikatan nikah, mengadopsi sistem
baby hatches, membuat buku pegangan kehamilan, dan mencanangkan program
Ikumen Project. Kegiatan perjodohan memudahkan mereka yang kesulitan
menemukan sekedar teman kencan maupun pasangan hidup. Larangan aborsi
dikuatkan dengan adanya dukungan dari pemerintah untuk tetap menjaga
kandungan hingga lahir sang bayi, walaupun anak itu terlahir dari hubungan di
luar ikatan pernikahan. Untuk memfasilitasi bayi-bayi yang tidak dikehendaki
orang tuanya tersebut, pemerintah daerah Kumamoto melalui RS Jikei juga
menerapkan sistem baby hatches yang memungkinkan bayi-bayi kurang
beruntung untuk mendapatkan perawatan dari dokter di rumah sakit tertentu.
Kepada generasi muda, pemerintah juga menyiapkan buku pegangan
kehamilan sebagai pengetahuan dan panduan mengenai reproduksi. Namun
sayangnya, program ini telah ditentang oleh sebagian masyarakat sehingga
tidak dapat dilaksanakan. Beberapa pemerintah daerah memiliki cara lain untuk mengendalikan shoushika, yakni dengan mencanangkan Ikumen Project. Ini
merupakan bentuk partisipasi dan tanggung jawab pria terhadap istrinya dalam
mengasuh anak. Partisipasi para pria dalam mengasuh anak akan memperingan
beban sang istri sekaligus menghapus kesan bahwa anak merupakan tanggung
jawab istri, sementara suami cukup bekerja saja. Saat ini, sudah terlihat
semakin banyak pria yang berpartisipasi dalam Ikumen Project ini.
Tidak hanya pemerintah, perusahaan dan perkantoran di Jepang juga
turut berkontribusi dalam pemecahan masalah shoushika. Saat ini telah semakin
bertambah jumlah perusahaan yang memberikan fasilitas nursery untuk para
karyawan, meskipun belum terlalu banyak. Selain itu, perusahaan-perusahaan
juga memberikan kemudahan bagi para karyawan pria yang telah memiliki
anak untuk mengambil cuti dalam rangka mengasuh anak. Ada pula perusahaan
yang memberlakukan pemangkasan jam kerja dan perbedaan waktu kerja.
Karyawan diperkenankan untuk datang terlambat dan pulang lebih awal apabila
telah memiliki anak. Hal-hal seperti inilah, yang disebut sebagai toleransi, yang
dibutuhkan oleh Jepang dalam menuntaskan masalah shoushika. Masyarakat
Jepang, terutama wanita yang masih memiliki ketakutan akan beban mengasuh
anak yang dipikul sendiri, akan lebih merasa nyaman apabila lingkungan
sekitarnya mau memberikan kemudahan-kemudahan seperti itu. Menikah dan
memiliki anak tidak lagi menjadi sesuatu yang harus ditakuti oleh wanita,
terutama yang belum menikah. Dengan demikian diharapkan wanita Jepang
tidak perlu menunggu hingga usia 30 tahun untuk menikah, sehingga
kemungkinan untuk memiliki lebih banyak anak masih terbuka sebelum
memasuki usia resiko mengandung. | en_US |