Perilaku Menyirih Dengan Dan Tanpa Pinang Dihubungkan Dengan Peningkatan Kadar Nitric Oxide Saliva Sebagai Potensial Karsinogenik Pada Perempuan Penyirih Suku Karo Di Kecamatan Pancur Batu
View/ Open
Date
2015Author
Sari, Desy Purnama
Advisor(s)
Pintauli, Sondang
Ginting, Rehulina
Metadata
Show full item recordAbstract
Perilaku menyirih merupakan suatu kebiasaan unik yang menimbulkan
ketagihan dan berlangsung turun temurun. Pinang sebagai salah satu komposisi bahan
menyirih diketahui memiliki senyawa alkaloid yang dapat memicu pembentukan
Nitric oxide (NO) sebagai potensial karsinogenik. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengukur kadar NO saliva pada perempuan penyirih suku Karo yang menggunakan
pinang dan tanpa pinang dihubungkan dengan perilaku menyirih. Penelitian ini
dilakukan pada 22 perempuan penyirih Suku Karo berusia 30-60 tahun di Kecamatan
Pancur Batu menggunakan desain cross-sectional yang terdiri atas 11 kelompok
penyirih yang menggunakan pinang dan 11 tanpa menggunakan pinang. Data
karakteristik responden diperoleh melalui pengisian kuesioner. Pengumpulan saliva
sebelum menyirih adalah saliva unstimulated (metode spitting), sedangkan sesudah
menyirih menggunakan saliva stimulated. Pengukuran kadar NO dilakukan dengan
spektrofotometer menggunakan metode griess reaction. Data dianalisis dengan uji t
berpasangan, korelasi Pearson, dan regresi linear berganda dengan metode stepwise.
Rerata kadar NO saliva sebelum menyirih pada kelompok yang menggunakan pinang
114,95±39,08 μM dan tidak menggunakan pinang 69,74±21,59 μM. Sedangkan rerata
kadar NO sesudah menyirih pada kelompok yang menggunakan pinang
287,61±158,31 μM dan tidak menggunakan pinang 184,87±59,42 μM. Hasil analisis
data menunjukkan perbedaan kadar NO yang signifikan sebelum dan sesudah
menyirih pada kelompok yang menggunakan pinang (p=0,001) dan tidak
menggunakan pinang (p=0,000). Pada kelompok yang menggunakan pinang,
peningkatan kadar NO memiliki korelasi yang kuat terhadap lama kebiasaan sebelum
dan sesudah menyirih (r=0,875; r=0,736), frekuensi sebelum dan sesudah menyirih
(r=0,721; r=0,796) dan lama paparan sebelum dan sesudah menyirih (r=0,791;
r=0,814). Demikian juga pada kelompok yang tidak menggunakan pinang bahwa
peningkatan kadar NO memiliki korelasi yang kuat terhadap lama kebiasaan sebelum
dan sesudah menyirih, (r=0,854; r=0,929), frekuensi sebelum dan sesudah menyirih
(r=0,794; r=0,906) dan lama paparan sebelum dan sesudah menyirih (r=0,838;
r=0,935). Hasil analisis regresi linear berganda menunjukkan bahwa faktor yang
sangat berpengaruh terhadap peningkatan kadar NO saliva sebelum menyirih pada
kelompok yang menggunakan pinang adalah lama menyirih dengan y=-
43,496+7,851x1 dan kelompok yang tidak menggunakan pinang dengan
y=10,952+2,650x1. Sesudah menyirih, faktor yang sangat berpengaruh terhadap
peningkatan kadar NO saliva adalah lama paparan menyirih dengan persamaan y=-
30,479+33,009x2 pada kelompok yang menggunakan pinang dan y=20,949+17,172x2
pada kelompok yang tidak menggunakan pinang. Dapat disimpulkan bahwa
peningkatan kadar NO saliva sebelum dan sesudah menyirih pada kelompok yang
menggunakan pinang lebih tinggi dibandingkan kelompok yang tidak menggunakan
pinang. Betel quid chewing is an uniquely addicted and inherited habit. Areca nut is one of betel quid chewing’s ingredients contained alkaloid that can produced Nitric oxide (NO) as potential carcinogenic. The aim of this study is to measure salivary NO correlated to betel quid chewing (BQC) habit with and without Areca nut on Karonese females. The study was used cross-sectional design that involved 22 female betel quid chewers aged between 30-60 years old in Pancur Batu subdistrict (11 with Areca nut and 11 without Areca nut). Respondent’s characteristic measured by questioner. The prior saliva colllected for unstimulated saliva (spitting method), and the later saliva for stimulated saliva. NO concentration measured by spectrophotomer using griess reaction method. The datas analyzed by paired t-test, pearson correlation and multiple linear regression using stepwise method. Mean of the former salivary NO with Areca nut 114.95±39.08 μM and without Areca nut 69.74±21.59 μM. Then, mean of the later salivary NO with Areca nut 287.61±158.31 μM and without Areca nut 184.87±59.42 μM. Analyze result showed that there was significant differential correlation of NO’s concentration before and after BQC with Areca nut (p=0.001) and without Areca nut (p=0.000). On group with Areca nut, NO’s concentration had strong correlation with exposure before and after BQC (r=0.875; r=0.736), frequency before and after BQC (r=0.721; r=0.796) and duration before and after BQC (r=0.791; 0.814). Furthermore, group without Areca nut also had strong correlation with exposure before and after BQC (r=0.854; r=0.929), frequency before and after BQC (r=0.794; r=0.906) and duration before and after BQC (r=0.838; r=0.935). Multiple linear regression revealed the most factor affected to increasing the former salivary NO with Areca nut was exposure y=-43.496+7.851x1 and without Areca nut y=10.952+2.650x1. Meanwhile, duration was the most affected to the increasing of the later salivary NO with Areca nut y=-30.479+33.009x2 and without Areca nut y=20.949+17.172x2. So, its concluded that the former and later salivary NO concentration on before and after BQC with using Areca nut were higher than without using Areca nut.
Collections
- Master Theses [46]