Kebijakan Penegakan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Pendekatan Non Penal Dalam Rangka Perlindungan Hukum Terhadap Korban
View/ Open
Date
2016Author
Sinaga, Japansen
Advisor(s)
Ediwarman
Suhaidi
Hamdan, Muhammad
Metadata
Show full item recordAbstract
Kebijakan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi berdasarkan pendekatan non penal dalam rangka perlindungan korban telah dilaksanakan selama ini sesuai Pasal 17, 18, 19 32, 33, 34, dan 38 C UUPTPK terkait perampasan aset secara perdata dan administratif. Kebijakan tersebut tidak sepenuhnya memberikan perlindungan hukum terhadap korban dan tidak mampu meminimalisir kuantitas korupsi dan kerugian negara melalui ganti rugi. Bagaimana pengaturan hukum yang mengatur tentang kebijakan kriminal dalam penanggulangan korupsi secara non penal dan implementasinya serta upaya yang harus dilakukan untuk menanggulangi korupsi secara non penal dalam rangka melindungi korban?
Jenis metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif dan empiris melalui wawancara mendalam. Sifat penelitian ini adalah deskriptif dan preskriptif. Pendekatan normatif melalui pendekatan undang-undang, pendekatan kasus, pendekatan komparatif. Prosedur pengumpulan data melalui studi pustaka dan studi lapangan, serta analisis data menggunakan analisis kualitatif.
Pengaturan tentang kebijakan kriminal penanggulangan korupsi secara non penal dalam UUPTPK ditetapkan sebagai perampasan aset, pencabutan hak-hak tertentu, pembayaran uang pengganti, penghentian kegiatan sementara atau pencabutan izin operasional suatu usaha. Kebijakan substantif di Pasal 17, Pasal 18 ayat (1), Pasal 19 UUPTPK ditujukan kepada orangnya bukan kepada asetnya sekaligus berkarakter criminal forfeiture. Penggunaan gugatan perdata di Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, dan Pasal 38 C UUPTPK ditujukan pada asetnya tetapi harus menunggu proses tuntutan pidananya dan tidak boleh menyita aset/harta melebihi dari yang dirugikan. Implementasi kebijakan penegakan hukum terhadap penanggulangan korupsi dalam memberikan perlindungan hukum terhadap korban belum mampu menimbulkan efek jera bagi pelaku dan masyarakat serta tidak maksimal melindungi hak-hak korban karena orientasi penghukuman masih mengarah pada penderitaan fisik/badan di samping denda dan ganti rugi, tidak menyita semua aset/harta yang tercemar/ternodai kejahatan. Upaya kebijakan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi secara non penal dalam rangka perlindungan hukum terhadap korban dapat dilakukan melalui penggunaan civil forfeiture terutama pada aspek NCB Asset Forfeiture untuk memulihkan aset-aset yang tercemar/ternodai kejahatan dengan menggunakan jalur perdata khusus melalui penetapan hakim pengadilan. NCB Asset Forfeiture lebih memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap korban karena berorientasi pada upaya perbaikan atau pemulihan hak-hak perdata korban daripada penjatuhan pidana penjara, denda, dan ganti rugi. Upaya non penal terbentuk dari berbagai jalur baik jalur pidana, perdata, maupun administrasi. NCB Asset Forfeiture menegaskan kejahatan korupsi benar-benar extra ordinary crime sehingga argumentasi penggunaannya pun mutlak demi melindungi hak asasi korban seluruh warga negara daripada melindungi hak asasi koruptor.
Agar pengaturan substantif non penal dalam UUPTPK direvisi dengan memisahkan jalur tuntutan pidana dan perdata dengan cukup ditemukan adanya dugaan kerugian keuangan negara dengan bukti-bukti kuat kemudian dilakukan tindakan perampasan aset secara perdata melalui penetapan hakim pengadilan. Agar aparatur penegak hukum khususnya hakim-hakim pengadilan tipikor melakukan terobosan-terobosan baru dan tidak hanya berpangku pada asas legalitas saja dalam hal perampasan aset. Agar Pemerintah mengupayakan kebijakan penanggulangan korupsi dengan melibatkan penggabungan dari berbagai kebijakan perampasan aset yaitu criminal forfeiture, administrative forfeiture, civil procedure, dan khususnya NCB Asset Forfeiture sehingga terbentuk metode penyitaan atau perampasan perdata-administrasi secara terpadu.
Collections
- Master Theses [1833]