dc.description.abstract | Disertasi ini membahas tentang keberadaan masyarakat adat selalu identik dengan konflik agraria. pada umumnya konflik yang terjadi didasarkan atas keanekaragaman budaya, seperti suku bangsa, etnis, agama dan lapisan sosial yang mewarnai konflik ancaman dan kekerasan serta menyeret wacana primordialisme yang terjadi di Kabupaten Padang Lawas Utara (para pendatang, pribumi, muslim, non muslim dan elit politik).
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Penelitian ini menjawab pertanyaan penelitian antara lain: 1) Bagaimana dinamika konflik tanah ulayat masyarakat adat di Kabupaten Padang Lawas Utara?; 2) Mengapa masyarakat adat menolak pembebasan tanah ulayat yang beralih fungsi menjadi kawasan tetap hutan negara dan/atau register 40 Padang Lawas Utara di Desa Simangambat Jae Kecamatan Simangambat Kabupaten Padang Lawas Utara?; (3) Bagaimana peran tokoh adat/hatobangon/ulama/cerdik/pandai, pengetua adat, kepala desa, LSM, LBH dan aparatur pemerintah dalam menyelesaikan konflik tanah ulayat serta politik agraria dalam melindungi hak-hak ulayat terhadap tanah ulayat masyarakat adat? (4) Bagaimana model penyelesaian konflik tanah ulayat masyarakat adat di Desa Simangambat Jae Kecamata Simgambat Kabupaten Padang Lawas Utara?
Berdasarkan hasil penelitian dan telaah dari hasil peneliti sebelumnya, analisis penelitian ini mengungkapkan 2 (dua) hal, yaitu: 1) konflik vertikal antara masyarakat adat dengan kepala desa menjadi cikal bakal pergeseran hak persekutuan atas tanah ulayat menjadi milik hak pribadi, karena tergiur oleh uang dan kurangnya pengawasan dari atas, maka terjadi penyalahgunaan kekuasaan atas pengelolaan tanah ulayat dan birokrasi yang berorientasi pada proyek, dan 2) konflik horizontal yang antara masyarakat adat dengan Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan milik PT. Torganda terkait intervensi negara dikarenakan adanya kemajemukan hukum atas pengakuan dan pembebasan tanah ulayat melalui perjanjian yang dikendalikan oleh kepala desa atas pertimbangan pemangku adat. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan fungsi kawasan hutan tetapi mengabaikan hak-hak ulayat atas tanah ulayat dan keberadaan masyarakat adat yang menggantung hidupnya dari hasil hutan di wilayah KPKS BH yang menyebabkan pemicu amarah masyarakat adat atas regulasi yang dikeluarkan tanpa memperhatikan asas kelayakan dan menghargai hukum adat. | en_US |