dc.description.abstract | Kebutaan di Indonesia merupakan bencana nasional. Sebab kebutaan menyebabkan kualitas sumber daya manusia rendah. Hal ini berdampak pada kehilangan produktifitas serta membutuhkan biaya untuk rehabilitasi dan pendidikan orang buta. Berdasarkan hasil survei nasional tahun 1993-1996, angka kebutaan di Indonesia mencapai 1,5%. Angka ini menempatkan Indonesia pada urutan pertama dalam masalah kebutaan di Asia dan nomor dua di Dunia1.
Masalah kebutaan di Indonesia yang sudah mencapai 1,5% tidak hanya menjadi masalah kesehatan, namun sudah menjadi masalah sosial yang harus ditanggulangi secara bersama-sama oleh pemerintah, dengan melibatkan lintas sektoral, swasta dan partisipasi aktif dari masyarakat. Tanggal 18 Februari 1999 WHO mencanangkan komitmen global vision 2020: The Right to Sight yang merupakan inisiatif global untuk menanggulangi gangguan penglihatan dan kebutaan yang sebenarnya dapat dicegah atau direhabilitasi.2,3Pencanangan itu berarti pemberian hak bagi setiap penduduk di dunia termasuk Indonesia untuk mendapatkan penglihatan yang optimal selambat-lambatnya tahun 2020.1
Terminologi kebutaan didefinisikan berbeda-beda ditiap negara seperti kebutaan total, kebutaan ekonomi, kebutaan hukum dan kebutaan sosial. Sebegitu banyaknya yang kira-kira ada 65 definisi kebutaan tertera dalam publikasi WHO tahun 1966. Di dalam oftalmologi, terminologi kebutaan terbatas pada tidak dapatnya melakukan aktifitas sampai tidak adanya persepsi cahaya.4 Di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa, kebutaan didefenisikan sebagai tajam penglihatan dengan koreksi terbaik kurang dari atau sama dengan 6/60.5 Agar supaya ada perbandingan secara statistik baik nasional maupun internasional, WHO pada 1972 telah mengajukan kriteria yang seragam dan definisi kebutaan sebagai suatu tajam penglihatan yang kurang dari 3/60 (snellen) atau yang ekuivalen dengannya. Pada 1979 WHO menambahkan dengan ketidaksanggupan hitung jari pada jarak 3 meter di ruang terbuka dengan cahaya matahari.4 | en_US |