Show simple item record

dc.contributor.advisorTanjung, Azman
dc.contributor.advisorSari, Masitha Dewi
dc.contributor.authorPuspita, Reni
dc.date.accessioned2021-11-09T07:32:31Z
dc.date.available2021-11-09T07:32:31Z
dc.date.issued2009
dc.identifier.urihttps://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/45461
dc.description.abstractPembangunan bidang kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Indera penglihatan (baca: mata) merupakan faktor kunci bagi terwujudnya SDM yang berkualitas. Hal ini disebabkan karena jalur utama penyerapan informasi dalam proses belajar individu terjadi melalui penglihatan (83%). Karena itu, upaya pemeliharan kesehatan indera penglihatan dan pencegahan kebutaan menjadi satu hal yang perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak.1 Pada tahun 1977, International Classification of Diseases (ICD) membagi berkurangnya penglihatan menjadi 5 kategori dengan maksimum tajam penglihatan kurang dari 6/18 Snellen, dimana kategori 1 dan 2 termasuk pada low vision sedangkan kategori 3,4 dan 5 disebut blindness. Pasien dengan lapang pandangan 5 – 10 ditempatkan pada kategori 3 dan lapang pandangan kurang dari 5 ditempatkan pada kategori 4. 2,3 Definisi low vision dan blindness baru-baru ini berdasarkan International Statistical Classification of Diseases, injuries and causes of death, 10th revision (ICD- 10): H54 (9) dimana visual impairment termasuk low vision dan blindness. Low vision didefinisikan sebagai tajam penglihatan yang kurang dari 6/18, tapi sama atau lebih baik dari 3/60, atau hilangnya lapang pandangan korespoden kurang dari 20° pada mata yang lebih baik dengan koreksi terbaik (visual impairment kategori 1 dan 2). Blindness didefinisikan sebagai tajam penglihatan yang kurang dari 3/60, atau hilangnya lapang pandangan koresponden kurang dari 10° pada mata yang lebih baik dengan koreksi terbaik (visual impairment kategori 3, 4 dan 5).4 Masalah kebutaan di Indonesia lebih merupakan masalah sosial, ketimbang masalah kesehatan. Hal ini sesuai dengan kriteria Badan Kesehatan Dunia (WHO), yakni bila angka kebutaan melebihi 1%, maka termasuk kriteria masalah sosial, bukan semata- mata masalah kesehatan. Hal ini menegaskan bahwa upaya untuk mengurangi angka kebutaan di Indonesia mesti bersifat lintas sektoral dan melibatkan peran aktif masyarakat luas.5en_US
dc.language.isoiden_US
dc.publisherUniversitas Sumatera Utaraen_US
dc.subjectPrevalensi Kebutaanen_US
dc.subjectGlaukomaen_US
dc.titlePrevalensi Kebutaan Akibat Glaukoma di Kabupaten Langkaten_US
dc.typeThesisen_US
dc.description.pages62 Halamanen_US
dc.description.typeTesis Magisteren_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record