dc.contributor.advisor | Nasution, M. Arif | |
dc.contributor.advisor | Subhilhar | |
dc.contributor.advisor | Harahap, R. Hamdani | |
dc.contributor.author | Ginting, Bengkel | |
dc.date.accessioned | 2018-08-06T07:17:42Z | |
dc.date.available | 2018-08-06T07:17:42Z | |
dc.date.issued | 2018 | |
dc.identifier.uri | http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/5080 | |
dc.description.abstract | As an archipelago which has 70% of the area is the sea and the coast line of 99,093 kilometers, Indonesia has abundant maritime economic resources, especially fishery resources. This potency has not been managed properly, indicated by a little contribution to maritime and fishery sector in the national revenue which only 14.7% of the Indonesian gross domestic product (GDP), compared with the other countries such as Japan which has only 31,000 kilometers of the coastline but can contribute 55% of its GDP. The dramatic phenomenon between potency and the use of maritime resources is straightly proportional to the life of coastal people who are fishermen. Compared with the other communities such as farmers, fishermen are considered as poor people. The objective of the research is to describe the socio-economic life of traditional fishermen at Dusun Bagan, Percut Village, to describe empowerment programs done by the Government, and to search for the strategy of empowering traditional fishermen. The research used descriptive qualitative method. The informants were 10 traditional fishermen, the groups of fishermen who received the program, and the officials from the Fishery and Maritime Agency. The data were gathered by conducting observation, in-depth interviews, and focused group discussion (FGD). The result of the research showed that the socio-economic condition of the traditional fishermen at Percut village is bad which is indicated by their dingy homes and sanitation for healthy life, the cruise range and caught area are over fishing, their children’s low education, and lack of other occupation when there is no caught. Although there are PEMP (Coastal People Economy Empowerment) and PNPM MKP (National Program for Empowering Maritime and Fishery Community), the fact in the field shows that the program does not deal with the real condition of the traditional fishermen in their social structure, let alone the program is designed in top down planning. It is true that in its implementation the program is in accordance with the technical manual combined with bottom up planning, but in practice in the field the application of bottom up is more emphasized on the need of the program and not a felt need. Besides that, the government does not involve emotionally. In general, PEMP and (PNPM-MKP) have not given any significant change in the economic condition of the fishermen at Percut Village. It seems that the program is not able to cut off the fishermen’s dependency on money lenders financially. First, the program does not deal with the basic problems of fishermen. The boats given by PEMP and PNPM MKP program are the boats with the capacity of 3-5 GT; with this type of boat, fishermen cannot go beyond 4 miles which is the overfishing area. Secondly, the groups of fishermen that receive the aid are nit firmed as a part of the model of solving fishermen’s problems but more emphasized on the need of the program so that the groups are in uniform and is not emphasized on locality and separated from the reality of their life. In this case, fishermen have the system of interaction, values, culture, and socio-economic relation system which is different from the other communities. The difference of model and method from the reality of fishermen’s life has caused the program to fail to understand the basic characteristics of fishermen community: “the character to take, with merchant mentality”. The failure will eventually make the program useless. The fund is used for consumption and loan is considered a gift which does not need to be paid back, etc. Therefore, empowerment program should be comprehensive, multidimensional, and sustainable. Poverty is not only related to helplessness financially but also related to other aspects such as policy, culture, values, and so on which have to be considered in designing as empowerment model. Designing and implementing empowerment model for traditional fishermen in the future should be with protective policy model. | en_US |
dc.description.abstract | Sebagai Negara kepulauan yang 70% wilayahnya adalah lautan dengan garis pantai sepanjang 99.093 KM, Indonesia memilik sumber daya ekonomi kelautan khususnya sumberdaya perikanan yang melimpah. Potensi tersebut belum dikelola dengan baik, hal ini ditandai dengan masih kecilnya kontribusi sektor kelautan dan perikanan pada pendapatan nasional yakni hanya mencapai 14.7 % dari total produk domistik broto (PDB) Indonesia, bandingkan dengan Negara-negara lain semisal Jepang yang hanya memiliki garis pantai sepanjang 31.000 KM akan tetapi menyumbang 55 % terhadap PDB. Fenomena dramatis antara potensi dan pemanfaatan sumberdaya kelautan ini berbanding lurus dengan kehidupan masyarakat pesisir yang mayoritas bekerja sebagai nelayan. Jika dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain di sektor pertanian, nelayan khususnya nelayan tradisional termasuk golongan paling miskin. Penelitian ini bertujuan menggambarkan kehidupan sosial ekonomi nelayan tradisionil dusun bagan Desa Percut, menggambarkan program-program pemberdayaan yang telah dilakukan pemerintah dan mencari strategi pemberdayaan masyarakat nelayan tradisionil. Penelitian bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif dengan informan yang ditentukan secara purposive yakni 10 nelayan tradisionil, pengurus kelompok nelayan menerima program dan .pejabat dinas perikanan dan kelautan. Data dikumpulkan dengan cara : observasi, wawancara mendalam dan fokus group diskusi (FGD). Hasil penelitian kondisi kehidupan sosial ekonomi nelayan tradisionil Desa Percut tergolong buruk terlihat dari indikator perumahan dan sanitasi yang kurang layak untuk hidup sehat, alat tangkap terbatas daya jelajahnya dan wilayah tangkap yang over fishing, pendidikan anak-anak mereka sangat rendah serta minimnya pekerjaan lain ketika hasil melaut tidak memadai. Meski sudah ada program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) maupun Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Kelautan Dan Perikanan (PNPM MKP), namun fakta di lapangan, program tersebut, kurang memahami kondisi obyektif nelayan tradisionil dalam struktur masyarakat nelayan secara umum apalagi program digagas secara top down planning. Memang dalam implementasi progam sesuai petunjuk teknis dipadukan dengan bottom up planning, namun dalam kenyataan lapangan aplikasi bottom up lebih mementingkan kebutuhan program bukan kebutuhan yang dirasakan (felt need). Selain itu, dalam implementasi program pemerintah tidak hadir secara emosional. Secara umum PEMP dan (PNPM – MKP) belum memberikan perubahan signifikan pada kondisi perekonomian masyarakat nelayan Desa Percut. Program belum mampu memutus ketergantungan nelayan terhadap toke baik pada sisi produksi maupun ketergantungan finansial. Pertama program belum menyentuh akar persoalan nelayan. Kapal melaut yang diberikan program baik PEMP maupun PNPM MKP adalah kapal-kapal yang berkapasitas 3-5 GT, dengan bantuan kapal jenis ini maka nelayan hanya bisa melaut pada wilayah perairan dibawah 4 mil, dengan kondisi sudah mengalami overfishing. Kedua kelompok-kelompok penerima manfaat tidak dibentuk sebagai bagian dari upaya, model penyelesaian berbagai persoalan nelayan, tetapi lebih dititikberatkan pada kebutuhan program, sehingga kelompok-kelompok yang dibangun seragam, tidak menyentuh aspek lokalitas, serta terpisah dari realitas kehidupan nelayan, bahwa nelayan memiliki sistem interaksi, nilai, budaya, sistem relasi sosial ekonomi sendiri yang berbeda dengan komunitas masyarakat lainnya. Jauhnya model dan metode terhadap realitas masyarakat nelayan ini kemudian menyebabkan program gagal memahami karakter mendasar dari masyarakat nelayan : “berkarakter mengambil, dan bermental saudagar”. Kegagalan ini pada akhirnya menyebabkan banyak agenda program yang kemudian tidak tetap pemanfaatan ; dijadikannya bantuan modal untuk belanja konsumsi, pinjaman dianggap hibah dan tidak perlu dibayar, dan lain sebagainya. Oleh karenanya program pemberdayaan tidak hanya menyentuh salah satu aspek saja tetapi harus komprehensif, multidemensional, dan berkelanjutan. Persoalan kemiskinan bukanlah hanya menyangkut ketidakberdayaan secara finansial, tetapi juga menyangkut aspek-aspek yang lain: kebijakan, kultur, nilai dan lain sebagainya yang harus diperhitungkan dalam merancang suatu model pemberdayaan. Karena itu, rancangan dan implementasi program pemberdayaan nelayan tradisional ke depan adalah dengan model kebijakan protektif. | en_US |
dc.language.iso | id | en_US |
dc.publisher | Universitas Sumatera Utara | en_US |
dc.subject | Empowerment | en_US |
dc.subject | Fishermen | en_US |
dc.subject | Poverty | en_US |
dc.title | Model Pemberdayaan Nelayan Tradisional : Analisis Kemiskinan Nelayan Tradisional Desa Percut Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara | en_US |
dc.type | Thesis | en_US |
dc.identifier.nim | NIM128122009 | en_US |
dc.identifier.submitter | Nurhusnah Siregar | |
dc.description.type | Disertasi Doktor | en_US |