Penanganan Khusus Terhadap Narapidana Penderita HIV/AIDS di Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan di Negara Indonesia
Abstract
Pendahuluan skripsi ini menguraikan tentang penyebaran HIV/AIDS yang semakin luas. Penyakit ini
dapat menyebar melalui hubungan seksual, jarum suntik dan kontak darah. Jadi bisa saja seseorang
narapidana baru terjangkit HIV/AIDS setelah berada di dalam penjara. Menanggulangi HIV/AIDS bukanlah
hal yang mudah. Pasalnya penyakit ini, belum bisa disembuhkan. Namun demikian dengan penanganan
medis yang tepat maka dapat memperpanjang usia penderita.
Permasalahan yang diangkat dalam sripsi ini adalah Bagaimana penanganan khusus terhadap
narapidana yang menderita HIV/AIDS dan apa saja kendala-kendala dalam proses penanganan khusus
terhadap narapidana yang terjangkit HIV/AIDS.
Keaslian penulisannya, sebelum tulisan ini dimulai, penulis telah terlebih dahulu melakukan
penelusuran terhadap tulisan-tulisan terdahulu, dan sepanjang penelusuran tersebut, diketahui di
Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, penulisan tentang “Penanganan khusus terhadap
narapidana penderita HIV/AIDS di Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan di Negara Indonesia”.
belum pernah ada. Kemudian, permasalahan yang dimunculkan dalam penulisan ini merupakan hasil olah
pikir dari penulis sendiri. Kendatipun terdapat tulisan atau skripsi yang menyerupai tulisan ini, penulis
yakin bahwa substansi pembahasannya berbeda dengan skripsi ini. Penulisan ini mengacu kepada Undang undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1999 tentang
pembinaan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan, Peraturan Pemerintaha No. 32 Tahun 1999
tentang syarat dan tata cara pelaksaan hak warga binaan pemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah No. 28
Tahun 2006 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah nomor 32 tahuin 1999 tentang syarat dan tata
cara pelaksaan hak warga binaan pemasyarakatan), Oleh sebab itu, keaslian dari tulisan ini dapat dijamin
oleh penulis.
Penulisan ini ditujukan untuk mengetahui bagaimana sebenarnya pengawasan serta penanganan
narapidana yang terjangkit HIV/AIDS. Seperti kita tahu bahwa perlakuan yang manusia dan memenuhi
asas keadilan adalah salah satu hendak dicapai dalam proses pembinaan. Oleh karena itu narapidana,
khususnya narapidana yang memiliki HIV/AIDS harusnya mendapatkan penangganan dan terapi khusus
yang sesuai yang dengan kebutuhannya. Telah diketahui bahwa HIV/AIDS dapat dengan mudah melalui
hubungan seksual, jarum suntik dan kontak pendarahan. Untuk mencegah terjadinya penularan virus
HIV/AIDS di dalam Lapas, maka narapidana yang menderita HIV/AIDS harus dijaga dengan baik. Hal ini
menarik bagi penulis.
Mamfaat penulisan ini, baik secara Teoritis maupun Praktis, antara lain : Secara Teoritis, hasil
penulisan ini akan berguna untuk dapat dijadikan lebih lanjut untuk melahirkan berbagai konsep ilmiah
yang pada gilirannya memberikan sumbangan bagi perkembangan hukum pidana khususnya yang mengatur
tentang masalah Pembinaan para Narapidana. Dan secara Praktis hasil tulisan ini dapat dipergunakan :
sebagai pedoman dan masukan bagi Pemerintah, Peradilan, Lembaga Pemasyarakatan dalam pelaksanaan
pembinaan bagi narapidana Lembaga Pemasyarakatan, sebagai Informasi bagi masyarakat mengenai
Lembaga Pemasyarakatan merupakan tempat pembinaan, mendidik serta membimbing para narapidana
agar dapat berbuat baik dan berguna bagi diri sendiri maupun orang lain bukan sebagai tempat penyiksaan
dan pengasingan dari masyarakat luas seperti anggapan masyarakat selama ini, dan sebagai bahan kajian
Akademis untuk menambah wawasan Ilmu Pengetahuan khususnya Hukum Pidana dan Sistem
Pemasyarakatan.
Tinjauan perpustakaannya antara lain Sistem Pemasyarakatan. Yaitu bertolak dari pandangan Dr.
Saharjo, SH. Tentang tugas hukum sebagai pangayoman hal ini membuka jalan perlakuan terhadap
narapidana dengan cara pemasyarakatan sebagai tujuan pidana penjara dan proses pemasyarakat secara
formal, proses pemasyarakatan sebagai metode pembinaan narapidana dalam sistem pemasyarakatan,
diberlakukan pada tahun 1965. tujuan utama daripada penetapan metode tersebut adalah sebagai petunjuk
dan sekaligus sebagai landasan bekerja para petugas lembaga pemasyarakatan didalam kegiatannya
melaksanakan sistem pemasyarakatan sebagai metode pembinaan ini meliputi empat tahap sebagai berikut:
Tahap pertama, terdap setiap narapidana yang masuk didalam pemasyarakatan dilakukan penetian untuk
mengetahui segala hal ikwal perihal dirinya termasuk sebab-sebabnya ia melakukan pelangggaran dan
segala keterangan mengenai dirinya dapat diperoleh dari keluarga, bekas majikan, atau atasannya, teman
sekerja, sikorban dari perbuatannya, serta dari petugas instansi lain yang telah menangani perkaranya.
Tahap kedua, jika proses pembinaan terhadap narapidana yang bersangkutan telah berlangsung selama lamanya sepertiga (1/3) dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut Dewan Pengamat Pemasyarakatan
sudah dicapai cukup kemajuan, antara lain menunjukan keinsyafan, perbaikan, disiplin dan patuh pada
peraturan tata tertip yang berlaku dilembaga-lembaga, maka kepada narapidana yang bersangkutan
diberikan kebebasan lebih banyak dan ditempatkan di lembaga pemasyarakatan (mediun security). Tahap
ketiga,jika proses pembinaan terhadap narapidana telah dijalani setengah (1/2) dari masa pidana yang
sebenarnya dan menurut Dewan Pengamat Pemasyarakatan telah dicapai cukup kemajuan-kemajuan, baik
secara fisik ataupun mental dan juga segi keterampilannya, wadah proses pembinaannya diperluas dengan
diperbolehkannya mengadakan asimilasi dengan masyarakat luar, berolahraga bersama dengan masyarakat
luar, mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah umum, bekerja diluar, akan tetapi dalam pelaksaannya tetap
masih berada dibawah pengawasan dan bimbingan petugas lembaga. Tahap keempat, jika proses
pembinaannya telah dijalani dua pertiga (2/3) dari masa pidana yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya
Sembilan (9) bulan, maka kepada narapidana yang bersangkutan dapat diberikan lepas bersyarat dan
pengusulan lepas bersyarat ini, ditetapkan oleh Dewan Pengamatan Pemasyarakatan.
Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah spesifikasi Penelitian, Jenis dari
penelitian ini adalah dengan menggunakan metode Penelitian Hukum Normatif (legal research), yaitu
dengan mengacu pada berbagai norma hukum, dalam hal ini adalah perangkat hukum tata negara yang
terdapat di dalam berbagai sumber terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang dibahas dalam
skripsi ini. Metode pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah metode pendekatan yuridis (legal
approach), mengingat permasalahan yang diteliti dan dibahas dala skripsi ini adalah Penanganan khusus
terhadap narapida pengidap penyakit HIV/AIDS di Lapas/rutan yang mengacu kepada kepada Undang-
undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1999 tentang
pembinaan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan, Peraturan Pemerintaha No. 32 Tahun 1999
tentang syarat dan tata cara pelaksaan hak warga binaan pemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah No. 28
Tahun 2006 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah nomor 32 tahuin 1999 tentang syarat dan tata
cara pelaksaan hak warga binaan pemasyarakatan). Alat pengumpulan data yang diperlukan oleh penulis
berkaitan dengan penyelesaian skripsi ini adalah dengan cara penelitian kepustakaan (library research).
Dalam hal ini, penulis melakukan penelitian terhadap literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoritis
ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam skripsi ini.
Tujuan dari tinjauan kepustakaan (library research) ini adalah untuk memperoleh data-data sekunder yang
meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, surat kabar, situs internet, maupun bahan
bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. Analisis data yang diperoleh penulis dari
tinjauan kepustakaan ini akan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan metode induktif dan
deduktif yang berpedoman kepada bagaimana penanganan khusu terhadap narapidana pengidap HIV/AIDS
dilapas dalam ketentuan hukum pidana yang terdapat dalam lembaga pemasyarakatan di Indonesia
Bab kedua dalam skripsi ini berisikan tentang Penyebaran HIV/AIDS merupakan masalah serius
yang harus segera direspon oleh banyak pihak. Penyebaran HIV/AIDS tidak hanya terjadi di masyarakat
umum, namun juga dapat terjadi di dalam lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara. Walau
jumlah orang dalam lapas/ rutan tidak sebanyak orang di di masyarakat umum, namun tetap saja
penyebaran HIV/ AIDS merupakan hal yang harus diwaspadai. Sebab Kondisi Lapas/ Rutan di Indonesia
masih belum memadai. Bahkan dengan berbagai masalahnya, seperti overkapasitas maka penyebaran dan
penularan HIV/AIDS justru semakin rentang terjadi. Sebagai pihak yang harus melindungi dan memenuhi
hak-hak warga negaranya, maka pemerintah wajib untuk berperan aktif dalam segala usaha
penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS di Lapas/rutan. Untuk meneruskan penanggulangan dan
pencegahan HIV/AIDS dalam bentuk implementasi nyata maka pemerintah dengan sigap telah membentuk
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPA).
Bab tiga pada skripsi ini berisikan tentang kendala-kendala dalam penanganan khusus terhadap
narapidan pengidap HIV/AIDS serta usaha-usaha pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di dalam
Lapas/ rutan tertuang dalam dalam suatu kebijakan yang telah dirumuskan dalam kebijakan yang dibuat
oleh Direktorat Jenderal pemasyarakatan. Yakni Strategi Penanggulangan HIV/AIDS dan Penyalahgunaan
Narkoba pada Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara di Indonesia 2005-2009. Didalamnya
diatur Program; Riset, Pengembangan, dan Pengawasan Program, Pengembangan dan Kerjasama Multi sektoral Koordinasi Program, Program Lingkungan kondusif, Program Rehabilitasi, Program Bantuan
Hukum dan Pelayanan Sosial Program. Hampir setiap kebijakan tidak lepas dari berbagai kendala dan
masalah yang menghambat berjalannya kebijakan tersebut.Berbagai hambatan dan kendala juga mewarnai
kebijakan dan strategi pencegahan dan penanggulahan HIV di Lapas/Rutan. Kebijakan yang paling
mendasar yakni masalah pendanaan. Dengan kondisi saat ini, pemerintah belum bisa menganggarkan biaya
yang memadai untuk memenuhi berbagai kebutuhan dalam menjalankan kebijakan penanggulahan
HIV/AIDS.
Bab empat skripsi ini berisikan kesimpulan dan saran, adapun kesimpulan tersebut adalah : 1.
Penyebaran HIV/AIDS saat ini masih dalam taraf yang belum bisa dikendalikan. Penyebaran virus HIV
dapat terjadi melalui penularan akibat jarum suntik yang digunakan secara bersama-sama dan berulang ulang. Penyebaran HIV/AIDS juga pesat pada komunikasi pelaku seks bebas. Misalnya pada tempattempat
hiburan malam dan prostitusi. Penyebaran HIV/AIDS tidak hanya terjadi di tengah-tengah masyarakat,
namun juga dapat terjadi di dalam lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara. Dari hasil
penelitian yang ada, kebanyakan penyebaran HIV/AIDS yang terjadi dalam Lapas/ rutan merupakan kasus
dimana narapidana atau tahanan telah terlebih dahulu pernah mengidap HIV/AIDS sejak diluar Lapas/
rutan. Namun demikian tidak menutup kemungkinan, bahwa dengan kondisi Lapas/ rutan yang buruk dapat
menjadi tempat yang kondusif sebagai penyebaran virus HIV. Melihat realitas yang ada dan besarnya
potensi penyebaran HIV/ AIDS di dalam Lapas/ rutan. Pemerintah telah membuat kebijakan
penanggulangan HIV/AIDS. Kebijakan yang dibuat dengan melibatkan pihak-pihak terkait tersebut. Telah
diterapkan untuk beberapa Lapas/ rutan. Tidak semudah membuat kebijakan di atas kertas, pelaksanaan
kebijakan penanggulangan HIV/AIDS di Lapas/rutan mendapatkan tantangan dan hambtan. Tantangan dan
hambatan tersebut bila tidak segera ditangani akan mengganggu usaha pencegahan HIV/AIDS di dalam
Lapas/rutan. Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa pelaksanaan pembinaan narapidana narkoba
pengidap HIV/AIDS di Lapas/ rutan dilakukan sama dengan pembinaan narapidana lain pada umumnya.
Hanya saja, bagi narapidana narkoba pengidap HIV/AIDS diberikan perhatian dan perawatan yang lebih
khusus dan intensif. Pembinaan terhadap narapidana pengidap HIV/AIDS tidak dibedabedakan sebab pihak
Lapas/rutan menerapkan kebijakan tersebut dengan alasan menjaga kerahasiaan bahwa narapidana yang
bersangkutan adalah seorang pengidap HIV/AIDS. Selain itu, ditujukan untuk melindungi kepentingan
narapidana itu sendiri, dalam artian bahwa mereka tidak dipisahkan dalam ruangan sel tersendiri agar
mereka tidak dikucilkan dari pergaulan atau dijauhi oleh sesama penghuni dan membuat mereka merasa
sama dengan narapidana lain dan menjadi bagian dari kehidupan di Lapas/ rutan. Memang ada baiknya
mencampur narapidana yang mengidap HIV/AID dengan mereka yang bukan pengidap. Alasan untuk tidak
melakukan diskriminasi merupakan alasan yang masuk akal. Namun penggabungan narapidana tersebut
sebaiknya juga memperhatikan beberapa hal lainnya. Misalnya dengan memperhatikan keadaan dan daya
tampung dari sel yang akan dihuni. Serta juga perlu memperhatikan kebersihan dan sanitasi dari sel
tersebut. Serta juga harus memperhatikan apakah sel tersebut aman atau justru membahayakan narapidana
lain yang bukan pengidap HIV/AIDS. Banyak faktor yang harus diperhatikan dalam usaha penanggulangan
HIV/AIDS di dalam Lapas/ rutan. Dari beberapa faktor tersebut ada baiknya memfokuskan pada segala
usaha untuk membenahi faktor-faktor yang menjadi kendala dalam usaha penanggulangan HIV/ AIDS di
dalam Lapas/rutan. Demikian pula dengan pengawasan dan pengamanan narapidana di dalam Lapas.
Narapidana penderita HIV/ AIDS sama saja diperlakukan dalam hal pengawasan dan pengamanan. Aturan
maximum security, medium security dan minimum security juga berlaku pada mereka. Sebagaimana
narapidana pada umumnya narapidana penderita HIV/ AIDS juga berhak mendapatkan berbagai macam
remisi. Kemudian juga mereka bila memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang undangan juga berhak untuk mendapatak pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan asimilasi.
Namun karena diperlakukan sama seperti warga binaan lainnya, maka narapidana penderita HIV/ AIDS
juga tunduk pada aturan pelarangan pemberian Asimilasi, pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas.
2. Kendala dalam pelaksanaan pembinaan narapidana narkoba pengidap HIV/AIDS di Lapas Khusus
Narkotika Jakarta adalah seputar masalah kurangnya sumber daya manusia seperti tenaga medis dalam
menangani narapidana narkoba yang mengidap HIV/AIDS, keterbatasan sarana dan prasarana perawatan
seperti obat-obatan dan laboratorium dan sarana pencegahan penularan seperti kondom dan alat suntik,
kurangnya fasilitas gedung yang terisi melebihi kapasitas wajarnya, kurangnya faktor dana untuk pelayanan
kesehatan, dan faktor internal dari narapidana yang bersangkutan seperti kelainan seks dan pembuatan
tindik/tato. Solusi atas kendala-kendala tersebut dilakukan Lapas Khusus Narkotika dengan meningkatkan
pengawasan semaksimal mungkin dan mengadakan kerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat yang
bergerak di bidang AIDS baik dalam pengadaan obat-obatan, pengadaan tenaga medis dan konselor
maupun pengadaan penyuluhan berkala tentang bahaya AIDS. Layanan kesehatan yang akan disediakan
bagi penghuni lembaga pemasyarakatan yang menderita HIV/ AIDS antara lain berupa pengobatan
penyakit infeksi menular seksual (IMS), tes dan konseling sukarela (VCT), pengobatan dengan
antiretroviral (ARV), pengobatan infeksi oportunistik, pengurangan resiko (harm reduction) masih kurang
memadai dan kurang dimanfaatkan. Dalam hal terapi metadhon misalnya, masih banyak narapidana yang
tidak ikut serta mengikuti program ini. Banyak hal yang menghambat usaha pencegahan dan
penanggulangan HIV/AIDS di dalam Lapas/ rutan. Bila diringkas hal-hal yang menghambat pelaksanaan
kebijakan penanggulangan HIV/AIDS yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, yakni:
faktor kuantitas sumberdaya manusia di bidang kesehatan. Dimana ketersediaan tenaga medis dalam usaha
penanggulangan HIV/AIDS di lembaga pemasyarakatan masih kurang memadai, faktor kualitas tenaga
medis yang belum memenuhi standardisasi. Tenaga medis sebagai pendukung utama dalam usaha
penanggulangan HIV/AIDS di Lapas/rutan masih belum dapat mensukseskan kebijakan yang ada, faktor
tenaga kesehatan yang belum berbekal pengetahuan kesehatan khususnya dalam menangani pengidap
HIV/AIDS di Lapas/rutan. faktor sumber dana untuk lembaga pemasyarakatan dirasakan masih kurang
untuk bisa mencukupi semua pengeluaran kesehatan yang ada. Hal ini tentu akan menggangu jalannya
kebijakan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dalm hal penanggulangan HIV/AIDS di Lapas/rutan, faktor
alat-alat kesehatan dan fasilitas kesehatan masih juga belum memadai. Keterbatasan fasilitas kesehatan
tersebut menyebabkan Lapas/ rutan harus melakukan kerja sama dengan berbagai pihak terkait, seperti
rumah sakit dan lembaga swadaya masyarakat. Dan ada beberapa saran yang disampaikan oleh penulis
melalui skripsi ini, antara lain : perlunya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan melakukan penerimaan lebih
banyak pegawai pemasyarakatan yang memiliki latar belakang pendidikan sebagai tenaga kesehatan.
Kemudian setelah direkrut maka para pegawai tersebut harus ditempatkan pada Lapas/rutan yang tengah
mengalami kekurangan tenaga kesehatan, perlu adanya partisipasi aktif dari pihak lembaga pemasyarakatan
untuk mengikutsertakan pegawainya pada pendidikan atau pelatihan tentang kesehatan, khusus mengenai
penanggulangan HIV/AIDS, untuk mengatasi over capacity yang yang dihadapi lembaga pemasyarakatan
maka perlu dilakukan langkah yang cepat dan tepat untuk menguranginya. Salah satu langkah untuk
mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan jalan mempermudah pemberian pembebasan bersyarat
(PB), dan cuti menjelang bebas (CMB). Dengan lancarnya pemberian PB dan CMB maka akan
mempermudah asimilasi, pengawasan terhadap narapidana harus diperketat guna menghindari
penyimpangan-penyimpangan yang dapat terjadi di dalam Lapas, perlunya penambahan sarana dan
prasarana kesehatan di dalam lembaga pemasyarakatan minimal fasilitas kesehatan tingkat pertama
(setingkat Puskesmas). Serta perlu selalu untuk memastikan ketersediaan obatobatan untuk warga binaan
yang mengidap HIV/AIDS, perlunya peningkatan anggaran atau pendanaan pelayanan kesehatan yang
mengacu pada standar WHO dalam rangka pelayanan kesehatan narapidana pada umumnya dan khususnya
narapidana yang mengidap HIV/AIDS. Anggaran harus dinaikkan sebab penanggulangan dan penanganan
pasien pengidap HIV/AIDS memerlukan perawatan khusus dengan biaya yang tidak sedikit, bila mana
sarana dan prasarana di dalam lembaga pemasyarakatan belum memadai maka perlu dilakukan
penggolongan narapidana berdasarkan keadaan kesehahatanya. Jadi tidak hanya penggolongan berdasarkan
umur, jenis kelamin, lama pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan saja, perlunya Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan mengadakan kerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat, instansi pemerintah terkait
dalam hal pelayanan kesehatan warga binaan pada umumnya dan khususnya warga binaan pengidap
HIV/AIDS. Dalam kenyataannya pihak Lapas/rutan telah berinisiatif untuk melakukan kerja sama
kesehatan dengan pihak-pihak yang terkait. Dengan demikian hubungan yang telah terjalin tersebut dijaga
dan dilanjutkan dengan kerja sama yang lebih baik lagi, perlunya usaha-usaha untuk mempermudah akses
kesehatan untuk narapidana. Selama ini narapidana khususnya yang berasal dari keluarga kelas bawah
mengalami kesulitan mendapatkan fasilitas kesehatan lanjutan. Narapidana tersebut sulit mendapatkan
Kartu Kesehatan Miskin. Hal ini menyebabkan mereka harus membayar biaya perawatan lebih besar dari
kemampuan mereka. Anggapan bahwa narapidana adalah sampah masyarakat, membuat mereka sulit
mendapatkan akses pada fasilitas kesehatan yang lebih baik dan perlu adanya kebijakan hukum pidana yang
berkeadilan dan lebih fleksibel. Selama ini kecenderungan menjatuhkan hukuman penjara sangat besar. Hal
ini menyebabkan Lapas/rutan menjadi penuh. Diperlukan kebijakan baru dalam menjatuhkan hukuman.
Misalnya untuk terdakwa pengidap HIV/AIDS tidak serta merta dijatuhi hukuman penjara. Namun perlu
dilihat bagaimana keadaan terdakwa. Bila memang keadaannya telah masuk pada stadium yang parah maka
bisa diberikan hukuman lain. Tentunya penilaian mengenai keadaan terdakwa harus melalui pemeriksaan
dokter ahli. Kemudian dalam hal narapidana penderita HIV/AIDS sudah masuk pada stadium yang tidak
dapat ditolong, maka perlu ada kebijakan hukum dimana narapidana tersebut diberikan keringanan serta
perlu dilakukan peningkatan kesejahteraan petugas pemasyarakatan guna meningkatkan semangat kerja dari
para petugas. Demikian beberapa saran yang dapat disampaikan. Semoga para pihak yang berkepentingan
dengan usaha dan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS di Lapas/rutan dapat mengambil manfaatnya. Oleh
karena itu di masa mendatang implementasi kebijakan penanggulangan HIV/AIDS di Lapas/rutan
diharapkan dapat berjalan dengan lebih baik. Serta pelaksanaan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS
tersebut dapat lebih memperhatikan hak-hak dari warga binaan. Diharapkan juga berkembangnya
pemahaman yang lebih komprehensif mengenai usaha dan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS di
Lapas/rutan.
Collections
- Undergraduate Theses [2782]