Relasi Kuasa Penanam Modal Mendapatkan Tanah Petani (Studi Kasus di Desa Simangulampe Kecamatan Baktiraja Kabupaten Humbang Hasundutan)
Abstract
Sistem Dalihan Natolu telah menjadi sistem yang mengatur kehidupan masyarakat Batak secara turun temurun yang digunakan sebagai penjaga keharmonisan dengan sifatnya yang dinamis dan terkadang fleksibel. Posisi yang ditempati setiap individunya dapat berubah sesuai dengan tempatnya. Baik sebagai Hula-hula, Boru, dan Dongan Tubu, memiliki peranan dan fungsi yang berbeda dalam adat. Sistem Dalihan Natolu mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat Batak dan menjadi sebuah kearifan relasi sosial masyarakat. Demikian pula pada masyarakat Desa Simangulampe Kecamatan Baktiraja, sistem Dalihan Natolu menjadi patokan dalam kehidupan sosial mereka. Akan tetapi sistem Dalihan Natolu mengalami gangguan kearifan relasi sosial dikala pengembangan pariwisata Danau Toba dicanangkan oleh pemerintah. Pengembangan pariwisata Danau Toba membuka peluang bagi masuknya penanam modal yang menggunakan sistem Dalihan Natolu sebagai alat memperoleh tanah dari petani. Penanam modal dengan kekuatan uang, masuk untuk mempertegas relasi kekuasaan dari sistem Dalihan Natolu. Dimana sistem Dalihan Natolu yang awalnya bersifat dinamis diarahkan menjadi sistem yang bersifat kaku dan menguntungkan sepihak.
Penelitian ini menggunakan teori Relasi Kekuasaan yang dikemukakan oleh Michel Foucault. Relasi kekuasaan merupakan sebagai strategi yang berlangsung dimana-mana dan disana terdapat sistem serta aturan. Kekuasaan merupakan situasi strategis dalam masyarakat yang dapat dijalankan melalui penyampaian argumentasi yang rasional (wacana) dan didukung oleh sistem yang ada. Penelitian ini menggunakan metode penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dokumenter dan studi kepustakaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peluang yang didapatkan penanam modal dari adanya program pemerintah untuk mengembangkan pariwisata Danau Toba telah mengganggu sistem Dalihan Natolu dalam kehidupan sosial masyarakat. Relasi-relasi sosial pada Dalihan Natolu yang seharusnya digunakan sebagai penyeimbang keharmonisan dan pemersatu, terganggu dengan mengarahkan sistem tersebut menjadi sistem yang kaku. Dalihan Natolu memiliki nilai-nilai dan pesan moral yang lebih mengutamakan kekerabatan, persatuan, kasih sayang, dan kepemilikan komunal. Dalihan natolu juga memiliki sifat dinamis dan fleksibel karena setiap unsurnya dapat berubah sesuai dengan tempat dan waktu. Kemudian nilai sistem dalihan natolu tersebut diarahkan menjadi sebuah relasi sosial yang sifatnya kaku dan hanya menguntungkan sepihak dengan berbagai wacana laki-laki adalah pemilik kekuasaan. Program pengembangan pariwisata membawa perubahan bagi masyarakat terkait dengan sistem Dalihan Natolu yang mengatur tentang pemaknaan tanah bagi masyarakat, dan hal ini didukung dengan kondisi kemiskinan masyarakatnya. Tanah pada awalnya dimaknai sebagai identitas, simbol kekuasaan (wilayah), simbol kekayaan dan dimiliki secara komunal, sekarang berubah dimaknai sebagai suatu komoditas yang bernilai jual tinggi dan dimiliki secara individu. Pada akhirnya sistem Dalihan Natolu tidak lagi menjadi acuan utama dalam kehidupan sosial masyarakat. Akan tetapi digantikan dengan sistem kapitalis yang lebih mementingkan uang dan keuntungan pribadi dibandingkan dengan kehidupan yang harmonis dan seimbang.
Collections
- Undergraduate Theses [1027]
