| dc.description.abstract | Reformasi tahun 1998 menjadi tonggak sejarah bagi Indonesia yang berhasil mendorong
perubahan tata Pemerintahan di Negeri ini. Gerakan Reformasi berhasil melakukan perubahan
dengan jalan menumbangkan rezim Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun lebih. Refomasi
menuntut perubahan diberbagai lini kehidupan, baik sosial, ekonomi, politik, hukum termasuk
dalam konteks Pemerintahan
Reformasi 1998 juga membawa konsekuensi untuk melakukan reformasi pada birokrasi.
Ini tidak bisa dilepaskan dari kondisi birokrasi Pemerintahan yang mengalami penyakit
bureaumania yang ditandai dengan kecenderungan inefisisensi, penyalahgunaan wewenang,
korupsi, kolusi dan nepotisme serta dijadikan alat oleh pemerintahan Orde Baru untuk
mempertahankan kekuasaan yang ada. Dari model yang diutarakan diatas dapat dikatakan bahwa
birokrasi yang berkembang di Indonesia adalah birokrasi yang berbelit–belit, tidak efisien dan
mempunyai pegawai birokrat yang makin membengkak. Selain birokrasi masih menempatkan
dirinya sebagai penguasa daripada menjadi pelayan masyarakat sehingga ia justru lebih
mendekatkan diri kepada pemerintah.
Birokrasi di zaman orde baru juga ditandai dengan beberapa ciri-ciri seperti pegawai
negeri yang menjadi pengurus partai selain Golkar, maka dia akan tersingkirkan dari jajaran
birokrasi. Selain itu, orang atau sekelompok orang yang tidak berpihak pada Golkar, maka bisa
dipastikan akan mendapat perlakuan diskriminatif dalam birokrasi. Keberpihakan birokrasi
terhadap suatu partai, tentu saja dalam hal ini Golkar, akan mengurangi profesionalisme dari
birokrasi tersebut. | en_US |