Show simple item record

dc.contributor.authorPurba, Jony Raimon
dc.date.accessioned2022-11-16T01:54:20Z
dc.date.available2022-11-16T01:54:20Z
dc.date.issued2008
dc.identifier.urihttps://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/60472
dc.description.abstractAkibat terjerat hutang luar negeri, banyak negara tidak mempunyai lagi anggaran bagi kesejahteraan masyarakat, negara-negara tidak mampu lagi mengendalikan harga barang konsumsi dan biaya pendidikan serta kesehatan yang terus naik. Saat krisis keuangan melanda Indonesia pada tahun 1997, Presiden Soeharto, meminta bantuan Internasional Monetary Fund (IMF) dan lembaga lembaga keuangan internasional lain untuk memenuhi kebutuhan sumber pendanaan dari luar. Mereka menyodorkan sejumlah persyaratan, satu diantaranya adalah privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan pemerintah Indonesia pun setuju untuk menjalankan serangkaian program penyesuaian ekonomi makro yang diajukan Bank Dunia, IMF (Internasional Monetary Fund), dan Bank Pembangunan Asia. Menguatnya liberalisasi ekonomi dan krisis multidimensi di Indonesia semakin memberi legitimasi pada pemerintah untuk melakukan privatisasi pada sejumlah Badan Usaha milik Negara (BUMN), termasuk melakukan privatisasi di bidang pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan yang pada mulanya merupakan tanggung jawab utama pemerintah diserahkan kepada pihak swasta. Karena motif utama pihak swasta adalah mencari keuntungan, tidaklah mengherankan jika privatisasi kemudian merosot menjadi komersialisasi pendidikan. Dunia pendidikan ditransformasikan menjadi lahan bisnis dan investasi ekonomi semata. Akibatnya, pendidikan menjadi barang mewah yang sulit dijangkau masyarakat bawah. Biaya pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi (PT) semakin mahal dan cenderung tidak terkendali. Dalam pandangan pendidikan sebagai komoditas, akan menimbulkan pergeseran yang menjadikan pendidikan bersifat elitis. Artinya, hanya akan dinikmati oleh kalangan tertentu saja yaitu yang mampu membayar. Padahal seharusnya pendidikan itu bersifat populis yaitu harus dinikmati oleh semua orang sesuai dengan haknya masing-masing. Nuansa privatisasi sudah terlihat dalam legalitas pendidikan. Diawali dari kemunculan sejumlah pasal di Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), yang kemudian memunculkan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Dengan munculnya Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan ini, kita juga disadarkan bahwa tingkat krisis pendidikan nasional di republik ini benar-benar telah sampai ke puncaknya. Bukan saja bahwa para pengambil kebijakan negara secara terang-terangan hendak mengabaikan amanat proklamasi, UUD 1945, dan konstitusi-konstitusi turunannya, tetapi hendak cenderung mengambil kebijakan kependidikan yang bakal menghalangi hak-hak dasar warganya yang tidak mampu untuk mendapatkan pendidikan yang baik dan diperlukan bagi dirinya dan bangsanya. Jika benar demikian, bukan saja kesejahteraan dan kemartabatan bangsa akan hilang, tetapi kebodohan dan keterpurukan serta ketidakadilan yang akan terus dirasakan.en_US
dc.language.isoiden_US
dc.publisherUniversitas Sumatera Utaraen_US
dc.titleNeoliberalisme dan Ekonomi Politik Indonesia Studi Kasus: Penerapan Kebijakan Privatisasi Pendidikan di Indonesiaen_US
dc.typeThesisen_US
dc.identifier.nimNIM030906026
dc.identifier.kodeprodiKODEPRODI67201#Ilmu Politik
dc.description.pages98 Halamanen_US
dc.description.typeSkripsi Sarjanaen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record