Show simple item record

dc.contributor.advisorSimanjuntak, Junjungan S. B. P.
dc.contributor.authorSinambela, Grace Berlian
dc.date.accessioned2022-11-16T04:14:17Z
dc.date.available2022-11-16T04:14:17Z
dc.date.issued2012
dc.identifier.urihttps://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/60720
dc.description.abstractTuktuk Siadong sudah menjadi daerah wisata sejak tahun 1960. Perkembangan Tuktuk terjadi sedemikian rupa diakibatkan oleh semakin dikenalnya Tuktuk sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Sumatera Utara, Indonesia. Berbagai upaya pembangunan dan penataan kawasan dilakukan agar dapat menambah nilai-nilai vitalitas yang strategis dan signifikan pada kawasan tersebut sebagai kawasan wisata. Selain itu, segala sesuatu yang berhubungan dengan usaha penginapan dan usaha-usaha lain yang menjadi pendukung kegiatan wisata terus dikembangkan. Dengan demikian, penjualan barang maupun jasa menjadi pekerjaan yang mendominasi di Tuktuk ini. Tuktuk sebagai daerah tujuan wisata sangat identik dengan Danau Toba, karena sejauh mata memandang, terbentang Danau Toba yang begitu luasnya. Di atas danau ini, banyak tumbuh tanaman sejenis eceng gondok dan teratai. Keberadaan tanaman ini menjadi feeding ground dan nursey ground yang sangat baik bagi spesies air tawar yang ada di tempat ini, namun jika keberadaan enceng gondok ini tidak ditata letaknya, justru akan sangat mengganggu pemandangan. Selain enceng gondok, sampah yang berserakan di danau akibat tidak adanya pengelolaan yang baik juga menjadi permasalahan tampilan fisik Danau Toba, terutama ketika musim turis lokal; karena kenyataannya turis lokal jika berwisata cenderung tidak peduli lingkungan. Membuang sampah sembarangan, merusak lingkungan alam tempatnya berwisata dengan mengukir nama di objek-objek wisata atau memetik bunga sembarangan; sangat berbeda dengan wisatawan mancanegara yang berlibur namun tetap menjaga lingkungan. Di sini sangat diperlukan kesadaran pribadi tiap-tiap individu bahwa masih ada generasi yang akan datang yang juga memerlukan kelestarian alam untuk melangsungkan hidup. Jika kesadaran sudah tertanam pada masing-masing individu, tentunya tiap-tiap orang akan disiplin dengan sendirinya, tanpa perlu penjagaan ketat. Lagipula, seharusnya kita malu jika tidak mempedulikan lingkungan kita, karena wisatawan mancanegara saja sangat peduli. Pengelolaan terhadap Danau Toba ke depannya sebaiknya tidak mengabaikan aspek lingkungan, mengingat pemerintah yang terkadang memiliki orientasi jangka pendek dan pragmatis. Kebijakan yang dikeluarkan terkadang hanya memikirkan kepentingan pemilik modal. di sisi lain perhatian pemerintah terhadap Danau Toba dan masyarakat di sekitarnya sangat minim. Jadi, ada baiknya jika pembangunan yang dilakukan bersifat ekowisata, yaitu wisata alam yang bertanggungjawab dengan cara mengkonversi lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Berbicara mengenai pengelolaan daerah wisata, tidak terlepas dari kualitas manusianya. Semakin berkualitas sumber manusia pada suatu daerah, akan semakin baik, karena pembangunan tidak berjalan begitu saja, melainkan diperlukan strategi agar suatu daerah tujuan wisata tidak mati dan terjaga keberlangsungannya. Dari sisi praktis, bahasa asing memang perlu untuk dikuasai oleh masyarakat yang tinggal di daerah tujuan wisata, apalagi masyarakat yang profesinya berkenaan dengan kegiatan kepariwisataan, namun yang terjadi di Tuktuk ini adalah mayoritas penduduk menguasai bahasa Batak sebagai bahasa utama, bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya sebagai bahasa tambahan, dan sedikit menguasai bahasa Indonesia. Miris memang, bahasa nasional sedikit diabaikan. Secara tidak langsung dapat dikatakan, kedaerahan masih terjaga, namun nasionalitas sangat minim. Memang baik unsur daerah dilestarikan, karena unsur daerah bukanlah suatu penghambat seperti yang dikatakan oleh Dove dalam kajiannyaUniversitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara tentang pembangunan di Indonesia, yaitu bahwa budaya tradisional merupakan sesuatu yang dinamis atau selalu mengalami perubahan, di mana budaya tradisional juga terkait dengan perubahan ekonomi, sosial dan politik; oleh karena itu menurutnya budaya tradisional tidak mengganggu proses pembangunan, justru menjadi faktor penunjang pembangunan, namun bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional seharusnya vital untuk dikuasai. Demikian pula dengan masyarakat lokal, yang belakangan mulai berubah preferensi pasangan hidupnya, lebih kepada warga negara asing, salah satu alasan utamanya sebenarnya adalah agar bisa terbantu dalam hal modal membangun penginapan atau usaha lain yang mereka kelola, karena hal ini pula warga lokal yang menikah dengan warga negara asing dipandang lebih tinggi status sosialnyaen_US
dc.language.isoiden_US
dc.publisherUniversitas Sumatera Utaraen_US
dc.titleUniversitas Sumatera Utara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Pengaruh Keberadaan Wisatawan Asing Terhadap Perkembangan Bisnis Pariwisata Masyarakat di Tuktuk Siadongen_US
dc.typeThesisen_US
dc.identifier.nimNIM080901029
dc.identifier.nidnNIDN0014066004
dc.identifier.kodeprodiKODEPRODI67201#Ilmu Politik
dc.description.pages132 Halamanen_US
dc.description.typeSkripsi Sarjanaen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record