| dc.description.abstract | Beberapa tahun terakhir ini, shopaholic atau compulsive shopper telah
menjadi perhatian berbagai program televisi dan majalah perempuan. Mereka juga
telah menjadi topik perbincangan para sosiolog. Meski media massa menggunakan
istilah dengan agak “serampangan”, sebenarnya seorang shopaholic sering merasa
terasing, sangat ketakutan, dan kehilangan kendali diri. Tidak diragukan lagi, kita
hidup dalam masyarakat yang sangat “gemar belanja”. Kita hidup berdasar pada
kekayaan yang kita miliki dan banyak dari kita hidup dalam belitan hutang. Banyak
orang, berapapun penghasilannya, memandang belanja sebagai sebuah hobi. Mereka
menghabiskan akhir pekan dengan berbelanja, menghabiskan uang untuk barangbarang
yang tidak mereka miliki, dan sering menyesali perbuatannya di kemudian
hari. Seorang shopaholic belanja di luar kendali. Mereka akan belanja saat berada
dalam situasi emosional, dan menggunakan belanja sebagai mekanisme bertahan
hidup. Mereka tidak berhenti belanja karena mereka sungguh-sungguh menemukan
kenikmatan dalam belanja. Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk
meneliti fenomena perempua shopaholic ini.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian studi kasus dengan pendekatan
kualitatif. Pendekatan kualitatif diartikan sebagai pendekatan yang menghasilkan
data, tulisan, dan tingkah laku yang didapati dari apa yang diamati (Nawawi, 1994 :
2004). Pendekatan kualitatif dimaksudkan untuk memahami fenomena tentang apa
yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik (utuh), misalnya tentang perilaku,
motivasi, tindakan, dan sebagainya (Moleong, 2005:4). Studi kasus adalah suatu tipe
pendekatan dalam penelitian yang penelaahannya terhadap suatu kasus dilakukan
secara mendalam, mendetil, dan komprehensif. Studi kasus dapat juga didefenisikan
sebagai suatu metode yang dipergunakan dalam penelitian ilmu sosial, memberikan
penekanan pada pengumpulan data mengenai sebagian atau seluruh unsur kehidupan
seseorang atau suatu kelompok, maupun hubungannya dengan pihak-pihak lain
dalam situasi sosial atau kebudayaan tertentu (Yin, 2003 : 1).
Setelah melakukan penelitian maka ditemukan data bahwa seorang shopaholic
suka menghabiskan uang untuk membeli barang yang tidak dimiliki meskipun barang
tersebut tidak selalu berguna bagi dirinya, merasa puas pada saat dirinya dapat
membeli apa saja yang diinginkannya, namun setelah selesai berbelanja maka dirinya
merasa bersalah dan tertekan dengan apa yang telah dilakukannya, pada saat merasa
stres, maka akan selalu berbelanja untuk meredakan stresnya tersebut, memiliki
banyak barang-barang seperti baju, sepatu atau barang-barang elektronik, dan lainlain
yang tidak terhitung jumlahnya, namun tidak pernah digunakan, selalu tidak
mampu mengontrol diri ketika berbelanja, merasa terganggu dengan kebiasaan
belanja yang dilakukannya, tetap tidak mampu menahan diri untuk berbelanja
meskipun dirinya sedang bingung memikirkan hutang-hutangnya. Hal ini disebabkan
maraknya gaya hidup konsumerisme hedonistik, iklim kehidupan dan pola relasi
sosial yang kian impersonal (lebih menekankan fungsi, tidak begitu peduli pada
kebutuhan empati dan afeksi), tempo kerja yang semakin cepat sehingga banyak
orang mengalami keterasingan (alienasi) di tengah lingkungan hidupnya. | en_US |