Show simple item record

dc.contributor.advisorZakaria
dc.contributor.authorMurniaty, Renny
dc.date.accessioned2022-11-17T01:56:33Z
dc.date.available2022-11-17T01:56:33Z
dc.date.issued2013
dc.identifier.urihttps://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/61056
dc.description.abstractMenurut Undang-Undang No. 16 tahun 2009 Pasal 1 Ayat (1) tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pajak merupakan kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh Orang Pribadi atau Badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Adanya peningkatan penerimaan pajak yang terjadi setiap tahunnya menyebabkan pihak Direktorat Jenderal Pajak terus mengadakan pengawasan pengamanan atas penerimaan pajak, guna mewujudkan realisasi akan besarnya penerimaan pajak di tahun-tahun berikutnya. Sebagai tindak lanjutnya guna meningkatkan penerimaan di sektor pajak pemerintah telah melakukan beberapa kali perubahan terhadap Undang-Undang Perpajakan Indonesia. Mengingat Negara Indonesia pada saat ini menggunakan sistem pemungutan pajak self assessment (Mardiasmo,2006:7) yang menggantikan offical assessment. Maka dengan dianutnya sistem self assessment ini, wajib pajak diberikan kepercayaan sepenuhnya untuk menghitung, memperhitungkan, melaporkan, dan membayar sendiri jumlah pajak terutang, sehingga dapat dikatakan wajib pajak itu berperan besar dalam menentukan keberhasilan sistem perpajakan tersebut. Sedangkan aparat pajak melakukan tugas sebagai pembinaan, penelitian, pengawasan dan sanksi. Namun kenyataan yang terjadi di lapangan, masih banyak wajib pajak yang tidak melunasi hutang pajaknya. Sebagai akibat dari tindakan wajib pajak ini maka dilakukan tindakan penagihan yang berfungsi sebagai sarana pencairan tunggakan pajak. Maka untuk mencapai tujuan tersebut, salah satu hal yang harus diperhatikan oleh pihak fiskus adalah upaya yang dilakukan dapat berjalan lancar. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Dalam hal penagihan aparatur Direktorat Pajak menggunakan Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Keputusan Pembetulan (SKP), Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding (PB) apabila tidak atau kurang bayar, menjadi dasar tindakan atau sarana administrasi bagi fiskus untuk melakukan tindakan penagihan pajak, sebagai sarana pelunasan pajak terutang. Begitu juga Surat Teguran bukan merupakan suatu sarana yang dapat menjamin penerimaan Negara berupa pajak dapat diterima atau diperoleh dengan cepat. Hal ini dapat dilihat masih banyak wajib pajak yang tidak merespon atas diterbitkannya Surat Teguran tersebut dan harus ditagih melalui Surat Paksa yang merupakan surat perintah untuk melunasi hutang pajak dan biaya penagihan pajak. Oleh karena itu Surat Paksa merupakan salah satu sarana administrasi yang penting dalam melaksanakan penagihan guna mencapai penerimaan Negara dari sektor pajak. Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalam melaksanakan Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) yang merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan perkuliahan di Program Studi Diploma III Administrasi Perpajakan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, penulis tertarik untuk membahas tentang Tata Cara Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Polonia.en_US
dc.language.isoiden_US
dc.publisherUniversitas Sumatera Utaraen_US
dc.titleTata Cara Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Poloniaen_US
dc.typeThesisen_US
dc.identifier.nimNIM102600109
dc.identifier.nidnNIDN0015015806
dc.identifier.kodeprodiKODEPRODI62402#Perpajakan
dc.description.pages76 Halamanen_US
dc.description.typeKertas Karya Diplomaen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record