dc.description.abstract | Berdasarkan berbagai sumber sejarah yang ada, riwayat Kota Medan dimulai
pada akhir abad ke-XVI, dengan didirikannya kampung Medan di dekat pertemuan
Sungai Deli dan Sungai Babura oleh Guru Patimpus, seorang pemuka masyarakat
yang berasal dari Tanah Karo. Sejak itu kampung Medan berkembang sangat lambat.
Kampung Medan mulai berkembang pesat pada abad XIX dengan dibukanya
perkebunan-perkebunan tembakau di daerah sekitar. Banyak perusahaan perkebunan
mendirikan kantornya di Medan. Pada periode itu Pemerintah Hindia Belanda
memindahkan ibu kota Keresidenan Sumatera Timur dari Bengkalis ke Medan dan
kemudian Sultan Deli juga memindahkan ibu kotanya dari labuhan ke Medan. Pada
awal abad XX Pemerintah Hindia Belanda mengangkat status Keresidenan Sumatera
Timur menjadi Provinsi dengan ibu kota Medan.
Pada abad ke XX Medan berkembang menjadi kota Kolonial bergaya Eropa
dan dijuluki Parijs van Soematra. Secara fisik kota Medan tampak terbagi (2) dua
wilayah, yaitu : (1) Wilayah Gemeente di bawah Pemerintah Hindia Belanda ; (2)
Wilayah Grand Kesultanan di bawah kendali Kesultanan Deli. Wilayah Gemeente
relatif tertata rapi dan dilengkapi berbagai fasilitas infrastruktur dan menjadi wilayah
bisnis, dan pemukiman. Pada masa itu terdapat pengelompokkan pemukiman
berdasarkan etnis. Wilayah Gemeente dihuni oleh golongan Eropa dan Timur Asing,
sementara wilayah Kesultanan Deli dihuni oleh pribumi (Melayu, Batak, Mandailing,
Minang dan Jawa).
Pada masa Kemerdekaan batas-batas zonasi pemukiman berdasarkan etnis
mulai kabur dan pembangunan fisik kota yang pesat, cenderung tidak terkendali
bahkan menyimpang dari Master Plan (Rencana Induk) Tata Ruang Kota. Pada
periode ini banyak bangunan yang berasal dari periode Kolonial dirobohkan, diganti
dengan bangunan baru yang hanya memprioritaskan aspek fungsional, sehingga
terkesan monoton, seragam, miskin estetika dan variasi.
Penelitian ini mengungkapkan bahwa banyak bangunan warisan dari masa
Kolonial, bernilai sejarah dan menyimpan rekam jejak sejarah perkembangan Kota
Medan dihancurkan dan digantikan dengan bangunan baru. Keadaan ini disebabkan
terutama karena faktor-faktor pragmatis (ekonomi dan kepentingan pemilik modal).
Desakan faktor tersebut demikian kuat, bahkan Pemerintah Kota Medan dalam
melaksanakan pembangunan, cenderung melanggar peraturan perundangan-undangan
( UU RI NO 26 Tahun 2007) Tentang Penataan Ruang, UU RI No 11 Tahun 2011
Tentang Benda Cagar Budaya dan Perda Tingkat II Medan No.6 Tahun 1988 Tentang
“ Pelestarian Bangunan dan Lingkungan yang Bernilai Sejarah Arsitektur
Kepurbakalaan Serta Penghijauan Dalam Daerah Kota Madya Daerah Tingkat II
Medan”, dan akhirnya banyak pihak yang mengesalkan tindakan Pemerintah Kota
Medan.
Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa pembangunan fisik kota yang
cenderung tidak terkendali akan menimbulkan efek eksternalitas yang tidak
menguntungkan bahkan merugikan kepentingan warga kota seperti kemacetan lalu
lintas yang pada akhirnya menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat serta dapat
menurunkan kualitas lingkungan.
Skripsi dan tulisan ini terdiri dari 5 (lima) bab, 109 ( Seratus sembilan)
halaman dan beberapa lampiran-lampiran lainnya seperti bagan, peta, foto, dan surat-surat. | en_US |