Analisis Distribusi Pendapatan Perwilayahan Pembangunan dan Titik Pertumbuhan di Kabupaten Dati II Simalungun
View/ Open
Date
1999Author
Silaen, Pardamean
Advisor(s)
Tarigan, Kelin
Tarigan, Robinson
Tarmizi, Hasan Basri
Metadata
Show full item recordAbstract
Tujuan dilakukannya penelitian adalah mengukur ketimpangan distribusi pendapatan antar golongan masyarakat pada setiap WP (4 WP), menganalisis sentralitas pusat pelayanan sebagai titik pertumbuhan dan mengidentifikasi titik pertumbuhan yang telah mampu berperan mendorong wilayah belakang di Kabupaten Dati II Simalungun. Pendekatan mengukur ketimpangan distribusi pendapatan adalah perhitungan Gini Ratio (GR) secara matematis dan menggunakan kriteria Bank Dunia dengan pendekatan data pengeluaran pangan dan non pangan. Pendekatan mengukur sentralitas digunakan parameter jumlah penduduk, fasilitas dan aksesibilitas sedangkan mengukur kemampuan titik pertumbuhan mendorong wilayah belakang dengan menggunakan metode pembobotan dan skor yang diberikan kepada masing-masing sektor dan sub sektor. Hasil penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Ketimpangan distribusi pendapatan antar golongan masyarakat. Gini Ratio over-all Sampling per kapita adalah GR = 0,213 dan 40 % kelompok pengeluaran terendah mempunyai 26 % dan pengeluaran total, ketimpangan ini masuk kategori rendah. Gini ratio per kapita masing-masing WP adalah sangat rendah yaitu : WP I, secara per kapita GR: 0,1912 dan 40 % kelompok terbawah mempunyai 28,1 % dari total pengeluaran di WP I dan RT miskin sebanyak 85 RT (44,27 %) dari 192 RT sampel. WP II, secara per kapita GR = 0,1923 dan 40 % kelompok terbawah mempunyai 27,3 % dari total pengeluaran di WP II dan RT miskin sebanyak 85 RT (53,13 %) dari 160 RT sampel. WP III, secara per kapita GR = 0,1959 dan 40 % kelompok terbawah mempunyai 27,8% dari total pengeluaran di WP III dan RT miskin sebanyak 35 RT (36,46%) dari 96 RT sampel. WP IV, secara per kapita GR = 0,2212 dan 40 % kelompok terbawah mempunyai 25,8 % dari total pengeluaran di WP IV dan RT miskin sebanyak 88 RT (34,38 %) dari 256 RT sampel Pedesaan, secara per kapita GR = 0,2045 dan 40 % kelompok terbawah mempunyai 27,2 % dari total pengeluaran di Pedesaan dan RT miskin sebanyak 271 RT (44,57 %) dari 608 RT sampel. Perkotaan, secara per kapita GR = 0,2115 dan 40 % kelompok terbawah mempunyai 25,9 % dari total pengeluaran di Perkotaan dan RT miskin sebanyak 22 RT (22,92 %) dari 96 RT sampel. 2. Sentralitas Guna mengukur kecamatan yang paling sentral di antara kecamatan dalam suatu WP digunakan 3 variabel yaitu jumlah penduduk, jumlah fasilitas dan aksesibilitas. Berdasarkan ketiga variabel tersebut : Pada WP I Kecamatan mempunyai nilai total indeks tertinggi adalah kecamatan Siantar yang merupakan titik pertumbuhan WP I, pada WP ll kecamatan yang mempunyai nilai total indeks tertinggi adalah kecamatan Tanah Jawa yang merupakan hinterland karena titik pertumbuhan pada WP II adalah kecamatan Jorlang Hataran, pada WP III Kecamatan mempunyai nilai total indeks tertinggr adalah kecamatan Raya yang merupakan titik pertumbuhan WP III dan pada WP IV Kecamatan mempunyai nilai total indeks tertinggi adalah kecamatan Bandar yang merupakan titik pertumbuhan WP IV. Kecamatan yang mempunyai total nilai indeks tertinggi adalah kecamatan yang ibukotanya dikategorikan kota orde tertinggr di WP tersebut. Pada WP I Pematang Simalungun ibukota kecamatan Siantar adalah kecamatan yang mempunyai nilai total indeks tertinggi dan dikategorikan kota orde I untuk tingkat Simalungun. Kecamatan lainnya yang termasuk WP I yaitu Sidamanik dan Pane masuk kota orde II serta kecamatan Dolok Pardamean kategori orde IV. Pada WP II Pematang Tanah Jawa adalah ibukota kecamatan Tanah Jawa masuk kategori kota orde pertama sedangkan titik pertumbuhan, kecamatan Jorlang Hataran masuk kota orde III dan kecamatan lainnya Dolok Panribuan (orde II) Hutabayu Raja dan Girsang Sipangan Bolon orde III. Pada WP III Pematang Raya ibukota kecamatan Raya masuk kategori kota orde II dan wilayah belakangnya Seribu Dolok (Silimakuta) orde III dan Tiga Runggu purba), Saran Padang Dolok Silau), Negeri Dolok (Silau Kahean) dan Sindar Raya (Raya Kahean) masuk kategori kota orde IV. Pada WP IV Perdagangan ibukota kecamatan Bandar masuk kategori orde pertama, wilayah belakangnya Pematang Bandar (P. Bandar), Serbelawan (Dolok Batu Nanggar) dan Purba Sari (Tapian Dolok) masuk kategori kota orde II sedangkan Ujung Padang (Kecamatan Ujung Padang) masuk kategori orde IV.
3. Kemampuan titik pertumbuhan mendorong wilayah belakang Analisis peranan titik pertumbuhan mendorong wilayah belakang menggunakan metode pembobotan dan pemberian skor bagi kegiatan pengadaan (input) dan pemasaran (output). Kegiatan input dan output dikategorikan pada 3 sektor utama yaitu sektor pertanian, sektor industri dan kerajinan serta sektor perdagangan, bank, koperasi serta jasa-jasa lainnya. Setelah dianalisis titik pertumbuhan yang jarak tempuhnya relatif dekat dengan Kodya Pematang Siantar yaitu Pematang Simalungun (kecamatan Siantar) titik pertumbuhan WP I dan Tiga Balata (kecamatan Jorlang Hataran) titik pertumbuhan WP II kurang berperan mendorong wilayah belakangnya. Diduga, hal ini dapat terjadi disebabkan terdapatnya jumlah dan jenis fasilitas yang relatif banyak di Kodya Pematang Siantar bila dibandingkan dengan fasilitas yang terdapat pada kedua titik pertumbuhan sehingga menarik minat masyarakat untuk melakukan aktifitas yang berkaitan dengan input dan output di Kodya Pematang Siantar. Titik perhmbuhan yang jarak tempuhnya relatif jauh dari Kodya Pematang Siantar yaitu Pematang Raya (kecamatan Raya) titik pertumbuhan WP III dan Perdagangan (Bandar) titik pertumbuhan wilayah IV berperan mendororong kemajuan wilayah belakang. Faktor jarak yang relatif jauh mempengaruhi minat masyarakat untuk pengadaan input dan pemasaran output ke Kodya Pematang Siantar dengan alasan akan menambah jumlah biaya dan waktu. Sepanjang titik pertumbuhan mampu melayani pengadaan input dan pemasaran output maka tidak akan pergi ke Kodya Pematang Siantar. Titik pertumbuhan yang relatif dekat dengan Kodya Pematang Siantar nilai GR-nya lebih kecil dibandingkan dengan titik petumbuhan dengan Kodya Pematang Siantar, titik pertumbuhan yang relatif dekat dengan kodya Pematang Siantar kurang berperan mendorong wilayah belakang sedangkan yang relatif jauh dengan Kodya Pematang Siantar mampu berperan mendorong wilayah belakang.